Tanda Waktu ‘Buka Puasa’ menurut Sunni dan Syiah

MUSLIMMENJAWAB.COM – Salah satu hal yang menjadi perbedaan antara mazhab Sunni dan Syiah ialah soal waktu berbuka puasa. Mereka (orang Syiah) berpandangan, bahwa tolok ukur masuknya malam hari dilihat dari menghilangnya mega merah di ufuk timur. Jika demikian, maka dibolehkan bagi mereka untuk berbuka puasa dan melaksanakan salat magrib dan isya.

Hal demikian mereka lakukan berdasarkan salah satu firman Allah di dalam surah al-Baqarah ayat 187 yang berbunyi berikut.  

Read More

 “Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam.”

Meski sama-sama berpegang pada ayat di atas, namun dalam memaknai masuknya malam hari, orang Sunni menjadikan tenggelamnya matahari sebagai patokannya. Kalau sudah demikian, mereka (orang sunni) boleh berbuka puasa dan melaksanakan salat magrib serta isya.

Terkait ayat di atas—yang dijadikan salah satu dalil, yang diperbolehkan di dalamnya untuk berbuka puasa—ada baiknya jika kita menilik sebuah tafsir dari ayat di atas, baik dari kacamata ulama Sunni maupun Syiah. Kira-kira, apa yang menandai masuknya malam hari? Untuk menemukan jawaban itu, mari kita baca pernyataan sebagai berikut.

Terkait penggalan ayat di atas, Syekh Thusi di dalam kitab Tafsir At-Tibyan berkata demikian,

“Datangnya malam hari ketika tenggelamnya matahari, dan tandanya adalah menghilangnya mega merah dari ufuk timur, lalu berganti menjadi gelap dari arah timur. Kecuali jika bumi mendatar, tidak ada gunung, maka tanda masuknya malam hari ialah ketika terbenamnya matahari.” [1]

Adapun di dalam tafsir berikutnya mengenai kata ‘al-laili’ (malam hari), yang ada di ayat di atas, Fakhrurazi, ulama Sunni, menulis di dalam kitab At-Tafsirul Kabir sebagai berikut.

“Terjadi sebuah perselisihan di antara mereka, tentang apa itu malam? Sebagian berpendapat dengan membandingkan akhir hari (malam hari) dengan awal hari (siang hari). Dan mereka berpendapat, bahwa sebagaimana tandanya siang hari dengan munculnya matahari, maka malam hari ditandai dengan menghilangnya matahari. Terjadi perselihsan di antara mereka, sebagian berpendapat, bahwa menghilangnya mega merah dari arah timur menunnjukkan tenggelamnya matahari dan itu adalah tanda malam hari. Sebagian lagi berpendapat, selama belum gelap, dan bintang-gemintang belum tampak, maka tandanya masih siang.”[2]

Demikian perbedaan Sunni dan Syiah dalam menentukan masuknya malam hari, yang menandai dibolehkannya berbuka puasa dan salat magrib dan isya. Sebagai penyempurnaan dari tulisan ini, insya Allah akan diulas pada tulisan berikutnya.


[1] Tafsir At-Tibyan, Syekh Thusi, jil. 1, hal. 135. Penerbit: Daru Ihya’ at-Turats, Beirut-Lebanon.

[2] Tafsir Fakhrurazi, jil. 3, hal. 122, penerbit: Darul Fikr, Beirut, Lebanon.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *