MUSLIMMENJAWAB.COM – Dalam pembahasan sebelumnya kita telah sedikit mengulas mengenai perbedaan waktu berbuka puasa yang diyakini oleh Syiah dan Sunni. Meskipun keduanya bersandar pada ayat ke-187 dalam surat Al-Baqarah, yang berbunyi:
“…Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam…”
Kali ini kita akan melihat penjelasan dari ulama yang lain terkait maksud dari ayat tersebut.
Dalam tafsir Al-Jami Lil Ahkamil Qur’an atau yang lebih dikenal dengan tafsir Al-Qurthubi, yang berarti dinisbahkan pada penulisnya imam Abu Abdlillah Al-Thubi, ia menjelaskan bahwa dalam kalimat “Atimmus Shiama Ilal Laili” mengandung makna wajib (menyempurnakan puasa hingga malam) dan tanpa adanya perbedaan dalam hal ini.
Kemudian dalam kelanjutannya ia juga memaparkan bahwa kata “Ila” (yang bermakna sampai, ke, hingga dan kepada), dalam penggalan ayat tersebut menunjukkan makna tujuan, apabila kata yang terletak setelahnya (Ila) merupakan jenis dari kata yang terletak sebelumnya (Ila) maka ia akan termasuk kedalam hukum tersebut.
Sebagai contohnya: “اشتريت منك من هذه الشجرة الى هذه الشجرة” saya membeli darimu dari pohon ini hingga ke pohon itu. Dalam kalimat ini kata pohon yang terletak setelah kata “Ila” termasuk dari yang dibeli sebab dari satu jenis (pohon). Adapun: “اشتريت منك الفدان الى الدار” saya membeli darimu sepetak tanah hingga ke rumah. Di sini kata rumah yang terletak setelah “Ila” tidak termasuk dari yang dibeli sebab tidak satu jenis (tanah).
Dari contoh tersebut ia melanjutkan bahwa Allah swt mensyaratkan penyempurnaan puasa hingga jelas waktu malam (artinya malam tidak termasuk dalam waktu puasa), sebagaimana Allah membolehkan makan (pada bulan puasa) hingga jelas waktu fajar.[1]
Begitulah penjelasan Al-Qurthubi terkait penggalan ayat tersebut, meskipun dalam hal ini ia tidak menjelaskan secara rinci mengenai permulaan malam yang dimaksud.
Adapun Syekh Thabarsi dalam tafsir Majma’ul Bayan menjelaskan bahwa dari penggalan ayat tersebut Allah swt menjelaskan akhir dari waktu berpuasa. Yakni puasa dimulai dari waktu terbitnya fajar kedua (fajar sidik) yang dengannya juga dimulai waktu wajib shalat subuh, hingga memasuki malam, yaitu setelah tenggelamnya matahari dan tandanya ialah menghilangnya warna kemerah-merahan dari sisi timur serta mulai menjadi gelap, atau cukup dengan tenggelamnya matahari dengan penampakan ufuk pada permukaan yang rata yang tidak dihalangi dengan gunung atau bukit.[2]
Demikianlah penjelasan beberapa mufassir terkait ayat tentang akhir waktu berpuasa. Tentunya pembahasan mengenai perbedaan waktu berbuka ini bukan hanya dari tafsiran ayat, tapi juga dipengaruhi dengan keberadaan riwayat-riwayat dengan persoalan yang sama, sehingga berangkat dari sini para ulama pun mengambil kesimpulan yang berbeda-beda, seperti yang insyaAllah akan dilengkapi lagi pada kajian-kajian berikutnya.
[1] Tafsir Al-Qurthubi, jil: 3, hal: 207-208, Muassasah Risalah.
[2] Majmaul Bayan, jil: 2, hal: 20, Darul Murtadha, Beirut.