MUSLIMMENJAWAB.COM – Seperti yang telah dibahas pada seri-seri yang lalu bahwa istilah rafidhah secara bahasa sebenarnya tidak memiliki nilai yang negatif maupun positif. Semua itu bergantung pada subjek atau objeknya.
Beda halnya dari segi istilah, bisa jadi penyebutan tersebut dibumbui dengan unsur pemojokan dan pengucilan terhadap sebuah kelompok atau bahkan sebaliknya.
Dapat kita lihat dalam rekaman sejarah kaum muslimin sepeninggal Nabi Muhammad Saw, lebih tepatnya pada masa pemerintahan di tangan Imam Ali As. Terjadi pertikaian yang berkepanjangan antara beliau dengan Muawiyah yang kemudian dikenal dengan perang Shiffin.
Sejarah mencatat bahwa sejak saat itu para pengikut Imam Ali As dijuluki dengan Rafidhah oleh Muawiyah sebab menentang pemerintahannya, seperti yang termaktub dalam penggalan suratnya kepada Amr bin Ash:
أما بعد! فقد كان من أمرعثمان بن عفان ما علمت، و أن علي بن أبي طالب قد اجتمع إليه رافضة أهل الحجاز و أهل اليمن و البصرة والكوفة…
Perihal perkara Utsman bin Affan seperti yang kau telah ketahui dan adapun Ali bin Abi Thalib, telah berkumpul ke sisinya rafidhah (pembangkang) dari penduduk Hijaz, Yaman, Bashrah dan Kufah.[1]
Setelah peristiwa itu penyebutan tersebut menjadi tersebar, terlebih karena pengaruh dari pemerintahan muawiyah yang berkuasa pada masa itu. Sebutan itu seringkali digunakan untuk mencemooh dan menyudutkan para pengikut Imam Ali As serta keturunannya (Syiah).
Seperti yang dijelaskan oleh salah seorang pengikut Imam Muhammad al-Baqir As, mengenai perlakuan yang mereka terima akibat dari sebutan rafidhah.
عَنْ أَبِي بَصِيرٍ قَالَ: قُلْتُ لِأَبِي جَعْفَرٍ ع جُعِلْتُ فِدَاكَ اسْمٌ سُمِّينَا بِهِ اسْتَحَلَّتْ بِهِ الْوُلَاةُ دِمَاءَنَا وَ أَمْوَالَنَا وَ عَذَابَنَا قَالَ وَ مَا هُوَ قَالَ الرَّافِضَةُ فَقَالَ أَبُو جَعْفَرٍ ع إِنَّ سَبْعِينَ رَجُلًا مِنْ عَسْكَرِ فِرْعَوْنَ رَفَضُوا فِرْعَوْنَ فَأَتَوْا مُوسَى ع فَلَمْ يَكُنْ فِي قَوْمِ مُوسَى ع أَحَدٌ أَشَدُّ اجْتِهَاداً وَ لَا أَشَدُّ حُبّاً لِهَارُونَ مِنْهُمْ فَسَمَّاهُمْ قَوْمُ مُوسَى الرَّافِضَةَ…
Dari Abu Bashir berkata: “Aku berkata pada Abu Ja’far As diriku sebagai tebusanmu. ‘Sebuah nama yang mana kami dinamai dengan itu dan penguasa menghalalkan darah dan harta kami serta menyiksa kami.’” Ia (Imam) berkata: “Nama apa itu?” ia berkata: “Rafidhah,” Abu Ja’far berkata: “Sungguh tujuh puluh orang dari pasukan Fir’aun telah menentang/meninggalkan Fir’aun kemudian datang kepada Musa As dan tidak ada satupun dari pengikut Musa As yang paling keras usahanya dan paling besar cintanya terhadap Harun daripada mereka, maka ia menamai mereka dengan kaum Musa yang Rafidhah…[2]
Dari sisi lain lain Imam menjelaskan bahwa sebutan rafidhah juga memiliki sisi positif yaitu ketika objek yang ditinggalkan, ditentang atau ditolak adalah sosok yang zalim. Sebagaimana yang beliau jelaskan pada riwayat tersebut.
Dari sini dapat kita ambil kesimpulan bahwa istilah rafidhah pada awalnya tidak memiliki muatan yang negatif maupun positif, namun ketika hal itu digunakan oleh penguasa terhadap kelompok yang berbeda pandangan dengannya, tak lain maksudnya adalah menyudutkan dan mengucilkannya, seperti yang telah dilakukan oleh Muawiyah terhadap para pengikut Imam Ali As, atau para penguasa setelahnya terhadap para pengikut Ahlul Bait (Syiah).
[1] Kitab al-Futuh, jil: 2, hal: 510, Darul Adhwa.
[2] Al-Mahasin, jil: 1, hal: 257, Al-Majma al-Alami Li Ahlil Bait.