MUSLIMMENJAWAB.COM – Sebagaimana yang telah disinggung bahwa Secara bahasa kata Rafidhah atau Rafidhi berasal dari kata رفض yang bermakna menolak atau meninggalkan, ketika dikatakan رفضتُ الشـيء أي تركته = saya menolak sesuatu maksudnya saya meninggalkannya.
Juga telah disinggung bahwa Kata Rafidhah bukanlah berasal dari istilah syar’i baik dari Al-Quran ataupun riwayat yang muktabarah, tetapi kata ini murni istilah politik penguasa di zaman itu yang ditujukan kepada kelompok orang yang menentang dan tidak mengikuti penguasa.
jadi, kata dan istilah Rafidhah ini (penolakan dan peninggalan) sebetulnya tidak mengandung nilai baik atau buruk. Tergantung pada banyak hal, termasuk apa atau siapa yang menolak dan yang ditolak, kapan, dimana, bagaimana dan kenapa.
Namun, bisa saja sebuah “kata” mengalami perubahan dan sejarah, sehingga terkadang sebuah kata yang semula netral menjadi punya konotasi negatif. Inilah yang terjadi dengan kata Rafidhah atau Rafidhi. Pada masa-masa tertentu kata Rafidhah atau Rafidhi digunakan oleh penguasa untuk mendiskreditkan kelompok Syiah Ali yang meyakini wilayah dan keimamahan Ahlul Bait Nabi saw, serta menolak kepemimpinan penguasa. Dengan kata lain kelompok Syiah Ali tersebut diberikan label oleh penguasa dengan label “penolak/pembangkang”.
Perlahan, pelabelan ini berkembang. Digunakan juga oleh penguasa untuk mendiskreditkan orang-orang yang cinta kepada Ahlul Bait Nabi saw. Begitu terangnya keutamaan cinta kepada Ahlul Bait Nabi saw itu, sehingga Imam Syafii rela disebut Rafidhah atau Rafidhi jika itu berarti kecintaan kepada Ahlul Bait Nabi saw, ia tidak peduli dengan kesan negatif dan mendiskreditkan kata tersebut. Imam Syafii melantunkan:
إِن كَانَ رَفضًا حُبَّ آلِ مُحَمَّدِ
فَليَشهَدِ الثَّقَلَانِ أَنِّي رَافِضِي
“Jika memang ke-Rafidhah-an itu berarti cinta keluarga Nabi, maka Sasksikanlah wahai jin dan manusia! Sesungguhnya aku adalah Rafidhi.” [1]
Hal ini menunjukkan usaha Imam Syafii dalam melawan arus gerakan anti Ahlul Bait Nabi saw. Dengan lantunanya tersebut, Imam Syafii ingin menegaskan bahwa cinta Ahlul Bait adalah bagian dari agama. sehingga apabila konsekuensinya adalah pendiskreditan dengan pelabelan tersebut. maka itu tidak menjadi sebuah masalah.
[1] Manaqib as-Syafi’i, jil: 2, hal: 71, Darut Turats, Kairo.