Pandangan Imam Malik Tentang Nikah Mut’ah

MUSLIMMENJAWAB.COM – Malik bin Anas merupakan salah satu ulama besar yang ahli di bidang fikih dan hadis, bahkan ia adalah seorang pemuka Mazhab Maliki. Dalam hubungannya dengan hukum nikah mut’ah, ia meyakini bahwa hal tersebut adalah hal yang diperbolehkan.

Al-Sarakhsi dalam kitabnya Al-Mabsut menyatakan:

Read More

وَتَفْسِیرُ الْمُتْعَةِ أَنْ یَقُولَ لِامْرَأَتِهِ: أَتَمَتَّعُ بِک کَذَا مِنْ الْمُدَّةِ بِکَذَا مِنْ الْبَدَلِ، وَهَذَا بَاطِلٌ عِنْدَنَا جَائِزٌ عِنْدَ مَالِکِ بْنِ أَنَسٍ وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ قَوْلِ ابْنِ عَبَّاسٍ – رَضِیَ اللَّهُ عَنْهُ – وَاسْتَدَلَّ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ} [النساء: 24]

“Dan penjelasan mut’ah adalah ketika seseorang mengatakan kepada seorang perempuan: ‘saya akan menikahi mut’ah kamu dengan masa tertentu dan dengan jumlah (harta) tertentu.’ Ini merupakan bathil bagi kami sementara diperbolehkan menurut Malik bin Anas dan hal ini yang nampak dari perkataan Ibnu Abbas RA, dan ia berdalil dengan firman-Nya (Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah maskawinnya..) QS: An-Nisa: 24.” (Al-Mabsuth jil:5, hal: 152 cetakan Darul ma’rifah)

Seperti yang telah kita saksikan tadi bahwa Imam Malik menyebut Ibnu Abbas RA sebagai salah satu sahabat yang melihat mut’ah adalah hal yang halal. Hal ini dapat kita lihat juga dalam kitab Tabyinul Haqaiq karya Fakhruddin Az-Zaila’i, dimana ia menuliskan:

وَقَالَ مَالِكٌ: هُوَ جَائِزٌ؛ لِأَنَّهُ كَانَ مَشْرُوعًا فَيَبْقَى إلَى أَنْ يَظْهَرَ نَاسِخُهُ وَاشْتَهَرَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ تَحْلِيلُهَا وَتَبِعَهُ عَلَى ذَلِكَ أَكْثَرُ أَصْحَابِهِ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ وَمَكَّةَ

“Dan Malik berkata: ‘(Mut’ah) adalah diperbolehkan sebab sebelumnyapun diperbolehkan secara syar’i maka akan tetap demikian hingga muncul yang menasakhnya (menghapus hukumnya). Dan telah masyhur penghalalannya dari Ibnu Abbas RA serta banyak yang mengikutinya dalam hal ini para sahabatnya dari penduduk Yaman dan Mekah. (Tabyinul Haqaiq Syarh Kanz Al-Daqa’iq wa Hasyiatul Syilbi, jil: 2, hal: 115)

Related posts

Leave a Reply