MUSLIMMENJAWAB.COM – Sebelum membahas lebih dalam terkait dengan pandangan Ibnu Jurayj tentang nikah mut’ah, mari sejenak kita mengenalnya secara singkat tentang siapa itu Ibnu Jurayj.
Iya, menurut sumber yang penulis himpun, Ibnu Jurayj adalah ulama yang pandai dalam ilmu fikih pada zamannya di Makkah. [1] Selain itu, ia juga pernah menjadi seorang imam (pemimpin) di Hijaz, dan ia adalah orang yang paling pertama di Makkah yang menulis buku.[2]
Lebih dari itu, Ibnu Jurayj juga salah satu di antara sederet ulama Ahlusunnah yang dihormati atas sumbangsihnya di dalam disiplin keilmuan. Bahkan, menurut keyakinan Ahlusunnah wal Jamaah, Ibnu Juraij termasuk salah satu tabiin.
Setelah mengenalnya secara singkat, sekarang saatnya kita simak pendapatnya terkait dengan nikah mut’ah.
Jurair Ad-dhobi (Pembesar di kalangan Ahlulsunnah wal Jamaah, seorang tabiin dan perawi kutubus sittah) berkata, “Ibnu Jurayj membolehkan nikah mut’ah, dan ia pernah melakukan nikah mut’ah dengan 60 wanita. Dan dikatakan, bahwa daftar nama para wanita yang ia nikahi secara mut’ah ia sampaikan kepada anak-anaknya, sehingga mereka tidak keliru—dengan maksud—mereka tidak menikah dengan para wanita yang pernah nikah mut’ah dengan ayahnya.”[3]
Tak ketinggalan, Dzahabi juga memberikan pernyataan terkait dengan Ibnu Juraij. Dalam pernyataanya, ia berkata, “Di mata Ibnu Juraij, nikah mut’ah hukumnya mubah. Dan ia sering melakukannya.”[4]
Terakhir, kita akan mendengar kesaksian Ibnu Hajar As-Qalani terkait pengakuannya tentang nikah mut’ah yang pernah dilakukan oleh Ibnu Jurayj.
“Ibnu Jurayj termasuk orang yang paling masyhur yang membolehkan nikah mut’ah. Ia adalah ahli fikih. Oleh karenanya, Auza’I yang diriwayatkan oleh Hakim di dalam Ilmu Hadis-nya, pernah berkata. ‘Menurut perkataan orang Hijaz telah ditinggalkan lima perkara, yang di dalamnya, ia menyebutkan tentang nikah mut’ah menurut perkataan orang Makkah; dan hubungan badan melalui dubur para wanita menurut perkataan orang Madinah.”[5]
[1]Mizanul I’tidal, jil. 2, hal. 659, penerbit: Darul Ma’rifah.
[2] Al-A’lam Lizrkali, Jil. 4, hal. 160, penerbit: Darul Ilmi Lil Malayiin.
[3] Siirul A’lam an-Nubala’, jil. 6, hal. 331, penerbit: Mu’asasah ar-Risalah / Sirul A’lam An-Nabla, jil. 9, hal. 11, penerbit: Mu’asasah Ar-Risalah / Mizanul I’tidal, jil. 4, hal. 404, penerbit: Darul Kutub Al-Ilmiah / Tahdzib At-Tahdzib, jil. 4, hal. 251, penerbit: Wizarotul Auqof.
[4] Al-Kasyif fi Ma’rifati Lahu Riwayah fil Kutubi As-Sittah, jil. 1, hal. 666. Penrbit: Darul Kiblah.
[5] Talkhisul Hubair, jil. 3, hal. 329, penerbit: Mu’asasah Qurtubah.