Ketika Taqiyah Diharamkan
MUSLIMMENJHAWAB.COM – Di dalam penjelasan kita sebelumnya terkait dengan taqiyah, dengan beragam dalil yang penulis bawakan, maka kita menyimpulkan bahwa taqiyah sejatinya dibolehkan, apalagi ulama sekaliber Imam Syafi’i juga mengaminkan masalah ini.
Nah, kalau di dalam pembahasan sebelumnya kita selalu membicarakan tentang kebolehan dalam ber-taqiyah berikut dengan sederet dalilnya, maka di dalam keyakinan mazhab Syiah, ada kalanya taqiyah juga diharamkan.
Menurut keyakinan Syiah, taqiyah menjadi haram apabila ancaman itu datang lebih kepada peruntuhan pondasi-pondasai Islam, di mana jika kita bertaqiyah, justru hal itu akan meruntuhkan pondasi Islam, dan reputasi Islam pun malah tercoreng karenanya.
Ambil contoh, hampir setiap umat Muslim tentu tahu dengan peristiwa Karbala, yang terjadi pada 61 Hijriah silam. Dalam peristiwa itu, cucu Nabi Muhammad Saw., Imam Husain dan keluarganya, menjadi korban kebengisan para musuh, terlebih Yazid bin Mu’awiyah.
Apa yang terjadi pada Imam Husain tak lain adalah demi menyelamatkan umat dan agama yang dibawa oleh kakeknya, dari tangan-tangan musuh, yang hendak menjatuhkan Islam hingga ke titik nadir.
Menurut catatan sejarah, kondisi kala itu sangat kacau. Hukum-hukum Allah diabaikan. Yang haram dihalalkan, maksiat tersebar di mana-mana, hingga wajah Islam tak nampak di tengah mereka.
Maka, sebagai manusia yang diberi mandat oleh Allah dan Rasul-Nya, Imam Husain bergerak, mencegah arus kerusakan yang bakal terjadi pada agama Allah Swt. itu, meski ia dan keluarganya harus terbantai dengan keji.
Di dalam sebuah pernyataanya yang cukup populer, tentang tujuannya keluar ke medan Karbala dan menghadapi orang-orang yang menentang hukum Allah Swt., Imam Husain berkata,
“Sungguh, aku keluar ke medan pertempuran bukan untuk keburukan, kesombongan dan bukan pula sebagai perusak dan orang zalim, akan tetapi aku keluar untuk melakukan perbaikan di dalam umat kakekku (Rasulullah Saw).”[1]
Seandainya Imam Husain, keluarga dan sahabtnya melakukan taqiyah kala itu, maka kita tak akan mengenal ajaran murni Rasulullah Saw. Justru, kalau mereka bartaqiyah umat Islam semakin jauh dari agama, dan kita, boleh jadi, menjadi orang yang setiap harinya selalu bermaksiat di hadapan-Nya. Naudzubillah min dzalik.
Sekali lagi, sebagai penegasan, di dalam kondisi yang dihadapi Imam Husain dan orang-orang terdekatnya—menurut mazhab Syiah—tidak diperbolehkan ber-taqiyah, bahkan haram hukumnya bertaqiyah.
Taqiyah untuk Pencegahan
Selain tujuan taqiyah adalah untuk menjaga diri, keluarga dan harta benda dari ancaman, maka taqiyah juga berlaku untuk melakukan pencegahan. Pencegahan di sini berarti untuk menahan arus perpecahan antarumat Islam.
Misalnya, orang Syiah—yang salatnya tidak bersedekap—maka mereka boleh untuk bersedekap saat melakukan salat di surau orang-orang Sunni, dengan tujuan menjaga persatuan dan mencegah perpecahan di anatara mereka.
Artinya, taqiyah dipakai untuk menjaga persatuan, baik untuk persatuan dalam whataniyah (kebangsaan), insaniyah (kemanusiaan) maupun Islamiyah (keislaman). Dengan begitu, akan terwujud lingkungan hidup yang penuh kedamaian dan ketenangan, sebagaimana yang menjadi dambaan setiap orang.
Akhir kata, mudah-mudahan, siapapun yang membaca ulasan sederhana tentang taqiyah ini, sedikit-banyak memberi pengaruh dalam diri kita semua, dan menjauhkan kita dari sikap tercela, seperti membeci saudara seiman dan sekemanusiaan. Wallu a’lam bi shawhab.
[1] Biharul Anwar, Kitab Tarikh Fathimam, Hasan wa Husain