MUSLIMMENJAWAB – Sebagian Muslim, baik Sunni maupun Wahabi menyoroti konsep taqiyyah yang ada di dalam mazhab Syiah sebagai bentuk nifak. Sebelum menuju pembahasan lebih lanjut, ada baiknya kita mengetahui apa makna nifak dan taqiyyah, serta di mana letak perbedaan antarkeduanya.
Nifak berasal dari kata na-fa-qa, yang berarti keluar. Secara istilah berarti sebuah sikap yang ditampakkan seseorang yang tak meyakini Islam berikut dengan ajarannya, namun seolah-olah ia menampakkan keislamannya. Dengan kata lain, ia berpura-pura menjadi seorang Muslim, sedang sejatinya, dirinya bukanlah seorang Muslim.[1]
Sedang taqiyyah bermakna menjauh, berhati-hati dan menyembunyikan. Dan secara istilah, taqiyyah berarti menyembunyikan keyakinan (kebenaran) seseorang di hadapan para musuh demi keselamatan nayawa dan hartanya. [2]
Dari sini, kita bisa melihat perbedaan yang cukup kentara antara makna taqiyah dan nifaq. Terlepas dari situ, yang perlu kita soroti adalah, di satu sisi mereka memahami taqiyyah yang dilakukan oleh orang Syiah sebagai bentuk nifak, di sisi lain ulama mereka (Ahlusunnah dan Wahabi) juga membolehkan taqiyyah, seperti yang tertulis di dalam kitab-kitab rujukan mereka.
Ibnu Abi Syaibah, seorang guru dari penyusun kitab Bukhari, menulis di dalam kitab Al-Mushannaf sebagai berikut.
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ إِسْرَائِيلَ، عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى، عَنِ ابْنِ الْحَنَفِيَّةِ، قَالَ: سَمِعْتُهُ يَقُولُ: لَا إِيمَانَ لِمَنْ لَا تَقِيَّةَ لَهُ
“Telah mengabarkan kepada kami, Waki’ dari Israil, dari Abdil A’la dan dari ibn Hanafiah, ia berkata, ‘Tidaklah beriman bagi orang yang tidak ber-taqiiyah.’”[3]
Selain itu, Jalaludin Suyuthi di dalam kitab Jami’ul Ahadis menulis begini.
قَالَ النَّبِيُّ: لاَ دِينَ لِمَنْ لاَ تَقِيَّةَ لَهُ.
Nabi Saww. bersabda, “Tidaklah beragama bagi orang yang tak ber-taqiyyah.”[4]
Dengan menyaksikan secara langsung pernyataan ulama besar mereka di dalam kitab-kitabnya yang masyhur, maka secara tidak langsung, mereka juga membolehkan taqiyyah. Pertanyaannya, mengapa sebagian penganutnya justru tidak mengamini pendapat ulamanya? bukankah seorang makmum kudu mengikuti imamnya?
Patut kita renungkan bersama.
[1] Qamus Quran, Sayyid Ali Akbar, juz 7, Hal. 98, penerbit: Darul Kutubul Islamiyah.
[2] Tashihu I’tiqadat, Muhammad bin Muhammad Mufid, hal. 137 / Lisanul Arabi, Ibnu Mandzur, Juz 15, hal. 401.
[3] Kitab Al-Musonnaf, Ibnu Abi Syabih Al-Kufi, juz 6, hal. 474, penerbit: Daru Taj.
[4] Jami’ul Ahadis, Jalaludin As-suyuthi, juz 8, hal. 281, penerbit: Darul Fikr.