MUSLIMMENJAWAB.COM – Setelah menyelami pernyataan-pernyataan dua ulama Wahabi tentang bid’ah dan haramnya mengadakan acara maulid di tulisan bagian pertama, sekarang, demi menghilangakan keraguan tentang apakah memperingati maulid nabi itu boleh atau tidak, penulis mencoba menghadirkan pernyataan ulama-ulama Sunni yang tentu bersilang pendapat dengan ulama Wahabi dalam masalah ini. Mereka membolehkan peringatan Maulid Nabi dengan dalil-dalil yang sebentar lagi akan kita jumpai.
Ulama kenamaan Ahlusunnah yang bernama Jalaludin as-Suyuthi di dalam kitab Al-Hawi Lil Fatawa, menanggapi soal kebolehan diadakannya maulid nabi. Di dalam pernyataannya, ia berkata begini,
“Bagi saya, memperingati hari lahir Nabi Muhammad Saw. itu sudah jelas, dan hal itu juga telah diriwayatkan oleh Baihaqqi, bahwa di saat nabi Saw. sampai pada jenjang kenabian, ia melakukan akikah untuk dirinya. Sebagaimana, sesuai dengan riwayat, bahwa di hari ketiga dari kelahirannya, sang kakek, Abdul Muthalib mengakikahkan cucunya itu. Dengan ini, akikah tidak dapat dilakukan untuk yang kedua kalinya.“
Kemudian, Nabi Menjadikan hal itu (akikah) sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah yang telah menjadikannya sebagai rahmat bagi semesta, dan ia mensyariatkan akikah ini untuk para umatnya, sebagaimana berselawat kepadanya. Karenanya, kita disunnahkan untuk untuk menampakkan rasa syukur atas kelahirannya dengan berkumpul bersama dan memberikan makanan kepada orang fakir yang dapat menyebabkan kebahagiaan kepada mereka.” (Suyuthi, Abdurrahman bin Abi Bakr, Al-Hawi Lil Fatawa fil Fiqh wa Ulumi Tafsir wal Hadis wal Ushul wa Nahw wal A’rab wa Saairil Funun, juz 1, hal. 230)
Ibnu Hajar Asqalani, ulama besar Ahlusunnah, ia memasukkan peringatan maulid nabi sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah Swt. Lebih jauh, ia juga menjelasakan bahwa merayakan peringatan maulid nabi adalah perkara baru, di mana tidak ada satu pun para pendahulu, tepatnya pada abad ketiga, tidak ada yang menukil akan hal itu. Namun, bersamaan dengan itu, terdapat sebuah kebaikan yang berlawanan dengan keburukan.
Maka, seseorang yang melakukan hal-hal baik, dan menjauhi hal-hal yang buruk, maka sejatinya ia sedang malakukan bid’ah hasanah. Seperti yang kita tahu, bid’ah hasanah selamanya tidak akan menyesatkan. (Suyuthi, Abdurrahman bin Abi Bakr, Al-Hawi Lil Fatawa fil Fiqh wa Ulumi Tafsir wal Hadis wal Ushul wa Nahw wal A’rab wa Saairil Funun, jil 1, hal. 229).
Terkait dengan hal itu, di dalam ungkapannya yang lain, Jalaludin as-Suyuthi juga menegaskan bahwa melakukan peringatan kelahiran Nabi Muhammad Saw. adalah bid’ah yang hasanah. Tidak berhenti di situ, bahwa ia juga menekankan bahwa peringatan maulid nabi Saw. itu memiliki pahala di sisi-Nya. Di dalam jawabannya atas pertanyaan hal terkait, Suyuthi mengatakan seperti ini,
“Ritual-ritual yang dilakukan di dalam peringatan maulid nabi, seperti berkumpulnya masyarakat, membaca al-Quran, menceritakan tentang kehidupan Nabi Muhammad Saw; kelahiran dan mu’jizat yang ia miliki sampai orang-orang itu pulang ke rumah masing-masing, semua itu adalah bid’ah hasanah. Siapa pun yang melakukan itu, maka ia akan mendapat pahala. Karena ritual-ritual itu dilakukan dalam rangka mengagungkan kelahirannya dengan diliputi kegembiraan.” (Suyuthi, Abdurrahman bin Abi Bakr, Al-Hawi Lil Fatawa fil Fiqh wa Ulumi Tafsir wal Hadis wal Ushul wa Nahw wal A’rab wa Saairil Funun, jil 1, hal. 221).
Pendapat-pendapat senada juga datang dari ulama-ulama Ahlusunnah kenamaan lainnya, seperti Syamsudin Muhammad bin Muhammad Jazri Syafi’I, Abul Khair Sakhowi Syafi’I, Abdurrahman Abi Shameh, Mubarak bin Yahya Syafi’i dan sebagainya.
Lalu, bagaimana posisi mazhab Syiah terkait hal ini? Mereka adalah mazhab yang betul-betul mengikuti ajaran murni Rasulullah Saw. Maka, kita tak bisa meragukan mereka dalam mencintai, mengagungkan dan meneladani Rasulullah Saw. Dalam hadis yang dibawa oleh Imam Ja’far as-Shadiq, ia berkata, “Syiah (pengikut) kami tercipta dari dari keutamaan tanah kami. Mereka bergembira atas kegembiraan kami, dan bersedih atas kesedihan kami.” Syajarah Thubi, Muhammad Mahdi Kha’iri jil. 1, hal. 3).
Bagi mazhab Syiah, kelahiran empat belas manusia suci (Nabi Muhammad hingga Imam Mahdi) adalah momen di mana mereka merasakan kebahagiaan. Maka, tradisi mereka, di tiap hari kelahiran para imam mereka adalah merayakan dengan penuh kegembiraan. Dan sebaliknya, mereka akan berduka di hari wafat para Imam mereka. Maka, di hari kelahiran nabi Muhammad Saw., mereka juga merayakannya, sebagai bentuk rasa syukur, sebagaimana orang-orang Muslim lainnya.
Dari penjelasan di atas, kita bisa menarik kesimpulan, bahwa peringatan maulid nabi yang selama ini selalu menjadi perbincangan akan boleh-tidaknya di dalam Islam, sejatinya adalah upaya rasa syukur kebanyakan kaum Muslimin akan kehadiran sosok nabi pembawa risalah, yang membawa obor petunjuk bagi manusia yang telah kehilangan arah. Berkat kehadirannya di muka bumi ini, manusia dibawanya dari alam kegelapan menuju cahaya ilahi yang terang benderang.
Setiap manusia yang berakal sejatinya bisa mencerna masalah ini. Secara akal, seseorang yang mencintai orang lain, maka ia akan menaruh rasa hormat kepada obyek yang dicintainya. Maka, sudah menjadi hukum akal, siapapun yang menyimpan rasa cinta yang mendalam kepada sang Nabi Saw., dengan sendirinya ia juga akan menaruh rasa takzim dan mengangungkannya, salah satunya dalam bentuk merayakan maulid nabi.
Akhir kalam, Terlepas dari uraian di atas, sejatinya maulid nabi adalah buah dari kecintaan seseorang kepada nabinya, maka, sejatinya tak perlu dalil yang jelimet untuk menjelaskan bahwa maulid nabi itu boleh atau tidak, bid’ah atau tidak. Cukup bertanya pada diri sendiri, apakah kita cinta pada nabi kita? Kalau cinta, maka tak perlu ragu untuk memperingati hari kelahirannya.
Semoga, kita termasuk pribadi yang tidak saja mencintai Nabi Muhammad Saw., lebih dari itu, yang paling penting adalah, kita bisa senantiasa meneladani jejak kehidupannya yang sarat akan pelajaran dan nilai-nilai terpuji itu.