Muslim Menjawab – Seperti yang pernah di ulas dalam sesi sebelumnya bahwa Istilah Rafidi hanyalah sebuah istilah politik penguasa untuk mereka yang melawan dan menolaknya, khususnya Muawiyah yang menggunakan istilah tersebut untuk orang-orang yang bermazhab syiah, yang mana pada dasarnya mereka berseberangan dengan Muawiyah.
Penguasa pada masa itu mensyiarkan istilah tersebut untuk kelompok syiah kepada umat Islam, maka istilah Rafidhoh menjadi masyhur diterapkan untuk mazhab syiah, sehingga mazhab ini menjadi suatu mazhab yang terlarang.
Semua sifat-sifat syiah dari mulai mencintai Nabi dan ahlulbaitnya, begitu juga yang mengutamakan Ali bin Abi thalib dari seluruh sahabat termasuk Abu Bakar dan Umar, dijadikan oleh mereka sebagai ciri dari kelompok Rafidhoh, Adapun masalah mencela sahabat, yang mana walaupun itu bukan ciri dari pada mazhab syiah, karena Syiah adalah bukan mazhab pencela sahabat, walaupun tidak dipungkiri adanya sebagian dari orang-orang syiah yang melakukan hal tersebut, mereka sandangkan pula ciri ketiga tersebut untuk Rafidhoh (akan di bahas secara khusus dalam sesi selanjutnya), dan ciri terakhir yang mereka sandangkan adalah berkata dusta, dan ciri terakhir ini tidaklah bisa diterima sama sekali, karena perbedaan pendapat dalam masalah keyakinan Imamah dan mazhab tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk menuduh pihak lain berbuat dusta, bahkan secara nyata bahwa Sebagian perawi dari kitab-kitab hadis ahlussunnah pun tergolong dari kelompok yang mereka katakan rafidhoh, seperti yang pernah dibahas dalam sesi sebelumnya, dan berikut ini adalah sebagian bukti lain dari beberapa perawi mazhab ahlussunnah yang dinyatakan tsiqah walaupun mereka itu rafidhi:
- Ubaidillah bin Musa
قال ابن مندة كان أحمد بن حنبل يدل الناس على عبيد الله وكان معروفا بالرفض لم يدع أحدا اسمه معاوية يدخل داره
“Ibnu Mandah berkata bahwa Ahmad bin Hanbal menunjukkan kepada masyarakat mengenai Ubaidillah sebagai seorang yang makruf dengan ke-rafidhohan-nya, dan dia tidak akan membolehkan seorang bernama Muawiyah masuk kerumahnya,” (Ad-Dzahabi, Siar A’lam An-Nubala: 9/556, Muassasah ar-Risalah, cetakan ke-11, 1417 H).
Sebagai penegas disebutkan pada kitab yang sama di halaman lain bahwa Ubaidillah bin Musa adalah seorang syiah muhtariq (syiah ekstrim) atau syiah masy’um.
وروى أبو عبيد الآجري عن أبي داود قال: كان شيعيا محترقا
قلت: كان صاحب عبادة وليل، صحب حمزة، وتخلق بآدابه، إلا في التشيع المشؤوم.
“Abu Ubaid al-Ajari meriwayatkan dari Abu Dawud, berkata bahwa dia (Ubaidaillah bin Musa adalah Syi’i muhtariq…. aku berkata bahwa dia (Ubaidillah bin Musa) adalah ahli ibadah dan sholat malam, pemberani, dan memiliki akhlak yang bagus, tetapi di menjadi syiah masy’um,” (Ad-Dzahabi, Siar A’lam An-Nubala: 9/555, Muassasah ar-Risalah, cetakan ke-11, 1417 H)
Tetapi walaupun dia terkenal sebagai rafidhi dan syiah ekstrim tetapi dia adalah seorang yang tsiqah dan diakui oleh ulama ahlussunnah itu sendiri.
وروى عنه البخاري في ” صحيحه “، ويعقوب الفسوي في ” مشيخته “.
وثقه ابن معين وجماعة وحديثه في الكتب الستة. قال أبو حاتم: ثقة صدوق حسن الحديث.
“Bukhari meriwayatkan darinya dalam sahih bukhari, dan Ya’qub al-Qaswi meriwayatkannya juga dalam Masyikhahnya, begitu juga dalam tsiqah ibn Mu’in dan jamaah. Hadits nya ada dalam kutubussittah (enam kitab hadits ahlussunnah). Abu Hatim berkata bahwa dia adalah tsiqah, shoduq, dan haditsnya baik.” (Ad-Dzahabi, Siar A’lam An-Nubala: 9/555, Muassasah ar-Risalah, cetakan ke-11, 1417 H).
Al-Mazi secara lengkap menyebutkan bahwa Ubaidillah bin Musa sebagai perawi Bukhari, Muslim, Ibn Majah, Tirmidzi dan Baihaqi
رَوَى عَن : ابراهيم بن إِسماعيل بن مجمع (ق) ، وأسامة بن زيد الليثي (م) ، واسرائيل بن يونس (خ م ت س) ، وإسماعيل بن أَبي خالد (خ) ، وإسماعيل بن سلمان الأزرق ، وإسماعيل بن عَبد المَلِك بن أَبي الصفيراء (ق) ، وأيمن بن نابل المكي
“Dia (Ubaidillah bin Musa) meriwayatkan dari: Ibrahim bin Ismail bin Mujammi’ (qaf = Ibnu Majah Al-qazwini), dan Usamah bin Zaid al-Laitsi (mim = muslim), dan Israil bin Yunus (kha=Bukhari, mim – Muslim, ta = Tirmidzi, sin = Nasai), dan Ismail bin Abi Khalid (kha = Bukhari), ….” (Al-Mazi, Tahdzib al-Kamal: 19/164, Ar-Risalah, cetakan pertama, 1413 H).
Bersambung…