MUSLIM MENJAWAB – Di seri sebelumnya telah dibahas seputar kerancuan dan standar ganda penggunaan istilah rafidhah. Di sebagian kasus, Seseorang yang mencaci Khalifah pertama dan kedua disebut sebagai rafidhah yang kotor. Namun, di kasus lain, Muawiyah dengan standar yang sama yaitu mencaci khalifah Ali bin Abi thalib tidak disebut rafidhah. Dan ini aneh.
Adapaun pada seri kali ini, kita akan bahas masalah lainnya perihal istilah rafidhah.
Mazhab Syiah sering di identikan dengan istilah rafidhah karena mereka menolak kekhalifahan selain Ali bin Abi Thalib setelah Rasulullah Saw. Dan klaim Syiah atas hal itu bukanlah tanpa dalil, melainkan dengan berbagai dalil sebagaimana telah kita bahas sebelumnya di seri Shiaologi ini.
Seiring berjalannya waktu istilah rafidhah berkembang menjadi makna yang berkesan negatif. Para pembenci syiah melabelkan Syiah dengan istilah rafidhah yang kotor, pendusta, pencaci maki, sering bersaksi palsu dll.
Salah satu dalil mereka ialah ucapan ulama dulu seperti Imam Syafi’i yang berkata: saya belum pernah melihat satu pun dari pengikut hawa nafsu yang paling banyak bersaksi palsu dari pada Rafidhah.
Dari pernyataan diatas para pembeci Syiah kemudian melabeli mazhab Syiah sebagai pendusta atau pelaku kesaksian palsu. Namun perlu diketahui, kalaupun pernyataan itu benar dari ucapan Imam Syafi’i, maka tidak bisa kita generalkan seluruh Syiah (yang mereka sebut sebagai rafidhah) sebagai pendusta atau pelaku kesaksian palsu. Karena terdapat pernyataan dari ulama Ahlussunnah lain yang menyebutkan beberapa orang sebagai rafidhah dan dinyatakan sebagai seorang yang jujur dan dapat dipercaya. Seperti yang termaktub dalam kitab Hadyus Sari Muqoddimah Fathul Bari karya Ibnu Hajar Asqolani yang berkata:
Ibad bin Ya’qub Ar-Rawajini Al-Kufi Abu Sa’id adalah seorang rafidhi yang masyhur, tapi dia benar-benar jujur dan terpercaya, Abu Hatim dan Al-Hakim berkata, Ibnu Huzaimah ketika meriwayatkan hadis darinya mengatakan, telah meriwayatkan kepada kami orang yang tsiqah (terpercaya) di dalam periwayatannya dan pendapatnya Ibad bin Ya’qub.
Dari uraian diatas kita bisa simpulkan bahwa istilah rafidhah tidak melazimkan sifat negatif. Sebagaimana contoh diatas yang menyebut seorang rafidhah sebagai orang yang jujur dan dapat dipercaya. Sifat dan perbuatan buruk kembali pada pelakunya sendiri. Mungkin, Bisa saja ada seorang yang mengaku syiah dan dicap rafidhah memiliki sifat pendusta sebagaimana yang dialami oleh Imam Syafi’i, namun, itu tidak serta merta kita katakan seluruh syiah (yang mereka katakan rafidhah) sebagai pendusta. Hal ini juga berlaku pada kelompok atau mazhab-mazhab lainnya. Selain itu, di seri-seri sebelumnya telah kita buktikan bahwa sebagian dari Sahabat besar Nabi Saw dikenal sebagai Syiah, lantas apakah mereka berani mengatakan bahwa sahabat-sahabat Nabi itu sebagai pendusta?
Jadi, prilaku yang buruk atau sifat negatif itu bukan karena rafidhah atau bukan rafidhah, tapi itu kembali pada pelakunya sendiri.