Abu Al-Hasan Al-Mawardi dan Tahrif Al-Quran

al-mawardi dan tahrif al-quran

MUSLIMMENJAWAB.COM – Masih berkutat dalam pembahasan tahrif Al-Quran, kali ini penulis akan membawakan pengakuan Al-Mawardi perihal keyakinan Abdullah bin Mas’ud (sahabat) terhadap Al-Quran. Dan telah diulas sebelumnya mengenai pandangannya tersebut oleh ulama lain dalam seri yang berbeda.

Sebelum beranjak pada inti pembahasan lebih afdhal sekiranya kita sedikit mengenal sosok Al-Mawardi.

Read More

Abu Al-Hasan Ali Bin Muhammad Bin Habib Al Mawardi lahir pada tahun 364 H adalah seorang ahli fikih, hadist sekaligus seorang politikus muslim. Ia dikenal sebagai tokoh terkemuka madzhab Syafi’i serta memiliki kedudukan yang berpengaruh dalam pemerintahan Abbasiyah. Ia wafat pada tahun 450 H, sehingga usia hidupnya kurang lebih 86 tahun.

Banyak karya yang telah dilahirkannya terutama terkait masalah politik dan pemerintahan. Al-Ahkam Al-Sulthaniyah merupakan salah satunya yang ia tulis dalam bidang tersebut. Sementara dalam tafsir ia menulis kitab Al-Nukat Wal U’yun Tafsir Al-Mawardi.

Dalam kitab tafsirnya tersebut ia mencatat:

وزعم ابن مسعود أنهما دعاء تعوذ به ولیستا من القرآن , وهذا قول خالف به الإجماع من الصحابة وأهل البیت

“Ibnu Mas’ud mengira bahwa keduanya (surat Al-falaq dan surat An-Nas) hanyalah doa yang mana ber-taa’wwudz (mengucap A’udzubillah) dengannya dan bukan dari Al-Quran. Ini merupakan ucapan yang bertentangan dengan Ijma dari para sahabat dan Ahlul Bait.”[1]

Dari pernyataan di atas sangat jelas terlihat bahwa Al-Mawardi menyatakan keyakinan Ibnu Mas’ud terhadap Al-Quran sangat bertentangan dengan pandangan Ijma dari para sahabat lainnya. Sebab dalam pandangan Ibnu Mas’ud surat Al-Falaq dan An-Nas bukanlah bagian dari surat-surat Al-Quran berbeda dengan apa yang ada dihadapan kita saat ini.

Terlepas dari itu perbedaan semacam ini banyak terjadi di kalangan para sahabat, tabiin dan ulama terdahulu baik itu di kalangan Syiah maupun Sunni. Namun hal ini tak lantas membuktikan terjadinya tahrif pada Al-Quran, sebab pada akhirnya riwayat-riwayat semacam itu merupakan riwayat-riwayat yang terbukti lemah atau tidak bisa dipegang (menurut jumhur ulama), apalagi digunakan untuk menghakimi kesesatan kelompok lain.


[1] Al-Nukat Wal U’yun Tafsir Al-Mawardi, jil: 6, hal: 373, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut)

Related posts

Leave a Reply