MUSLIMMENJAWAB.COM – Al-Quran tidak mengalami distorsi atau tahrif, ia adalah sama dengan saat-saat ketika ia diturunkan kepada sosok agung Nabi Muhammad SAW pada 14 abad silam. Begitulah keyakinan yang kita semua miliki terhadap kitab Allah SWT yang ada di hadapan kita ini, meskipun terkadang sering muncul bisikan-bisikan mengenai Al-Quran berbeda yang disudutkan pada madzhab Syiah.
Hal tersebut berangkat dari berbagai hal yang salah satunya bermuara pada kurangnya menyelami literatur Islam yang ada. Alhasil, jika kita mau membuka kembali catatan para ulama yang kini atau pun terdahulu maka akan kita dapati kenyataan yang mengindikasikan tahrif dari berbagai pihak, Syiah maupun Sunni. Meskipun jumhur ulama dari semua pihak menafikan hal itu dan meyakini keutuhan Al-Quran.
Dalam hal ini penulis masih mengulas pernyataan Ibnu Mas’ud (sahabat) tentang surat-surat dalam Al-Quran sebagaimana telah disinggung sebelumya, namun kali ini kita akan melihatnya dalam tafsir yang ditulis oleh Ibnu Asyur, yang dinamai dengan Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir.
Elok kiranya kita mengenal sedikit tentang Ibnu Asyur. Ia bernama Muhammad at-Tahir bin Muhammmad bin Muhammad Tahir bin Muhammad bin Muhammad Syazili bin ‘Abd al-Qadir bin Muhammad bin ‘Asyur. Lahir di Tunisia pada tahun 1879 M dalam lingkungan keluarga yang agamis hingga ia mengenyam pendidikan di Zaitunah, mengabdikan diri di sana hingga akhirnya menjadi seorang ulama besar dan melahirkan banyak karya. Di antara karyanya adalah: Alaisa al-Subh bi Qarib, Maqasid al-Syari’ah al-Islamiyyah, Uslul anNizam al-Ijtima ‘i fi al-Islam, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, al-Waqf wa Asaruhu fi al-Islam, Uslu al-Insya’i wa al-Khitabah dll.
Dalam kitabnya, Ibnu Asyur menuliskan:
وَتَسْوِیرُ الْقُرْآنِ مِنَ السُّنَّةِ فِی زَمَنِ النَّبِیءِ صَلَّى اللهُ عَلَیْهِ وَسَلَّمَ، فَقَدْ کَانَ الْقُرْآنُ یَوْمَئِذٍ مُقَسَّمًا إِلَى مِائَةٍ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ سُورَةً بِأَسْمَائِهَا، وَلَمْ یُخَالِفْ فِی ذَلِکَ إِلَّا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ فَإِنَّهُ لَمْ یُثْبِتِ الْمُعَوِّذَتَیْنِ فِی سُوَرِ الْقُرْآنِ، وَکَانَ یَقُولُ: «إِنَّمَا هُمَا تَعَوُّذٌ أَمَرَ اللَّهُ رَسُولَهُ بِأَنْ یَقُولَهُ وَلَیْسَ هُوَ مِنَ الْقُرْآنِ» ، وَأَثْبَتَ الْقُنُوتَ الَّذِی یُقَالُ فِی صَلَاةِ الصُّبْحِ عَلَى أَنَّهُ سُورَةٌ مِنَ الْقُرْآنِ سَمَّاهَا سُورَةَ الْخَلْعِ وَالْخَنْعِ، وَجَعَلَ سُورَةَ الْفِیلِ وَسُورَةَ قُرَیْشٍ سُورَةً وَاحِدَةً
“Pembagian surat-surat Al-Quran adalah (bagian) dari sunnah di zaman Nabi SAW. Al-Quran pada masa itu terbagi kedalam 114 surat dengan nama-namanya dan tidak ada yang menentang itu kecuali Abdullah bin Mas’ud, sebab ia tidak menetapkan Al-Mu’awwidzatain (al-Falak dan an-Nas) kedalam surat-surat Al-Quran dan ia berkata: ‘sesungguhnya kedua itu hanya Ta’awwudz (pelafalan Audzu Billah) yang mana Allah memerintah Rasul-Nya untuk melafalkannya dan bukan (bagian) dari Al-Quran.’ Dan ia juga menetapkan qunut yang dibaca pada shalat subuh sebagai sebuah surat Al-Quran. Ia menamainya surat Al-Khal’u dan Al-Khan’u, serta menjadikan surat Al-Fil dan surat Quraish sebagai satu surat.”[1]
Dalam pernyataan di atas, jelas sekali bahwa Ibnu Mas’ud memiliki pandangan lain terhadap Al-Quran yang berbeda dengan yang ada saat ini dengan rincian yang sudah disebutkan. Yang tentunya jika kita berpegang pada riwayat yang berasal darinya dalam hal ini sudah dipastikan kita akan melihat Al-Quran yang ada saat ini dengan menisbatkan tahrif.
Namun keputusan yang diambil tidaklah semudah itu, banyak pertimbangan lain yang dilakukan oleh ulama Sunni untuk memilah riwayat yang ada hingga akhirnya riwayat di atas hanyalah menjadi riwayat yang sedikit dan tidak dapat diterima kebenarannya.
Begitu juga yang terjadi pada madzhab Syiah. Apakah kita bisa menghukumi satu pihak menggunakan dalil yang menurut mereka tidak dapat diterima, namun hal itu kita paksakan?
[1] al-Tahrir wa al-Tanwir, jil: 1, hal: 85, ad-Dar at-Tunisia, Tunis.