Bolehkah Ber-taqiyyah dalam Islam? (Bagian 2)

Taqiyah di dalam Riwayat Sunni dan Syiah

MUSLIMMENJAWAB.COM – Jika kita mau meneliti, maka kita akan menemukan riwayat-riwayat Ahlusunnah yang membicarakan tentang taqiyah.

Read More

Abi Syabih, ia adalah salah satu ulama yang memiliki sanad hadis yang paling masyhur di kalangan Ahlusunnah, bahwa ia pernah menukil kisah dari nabi palsu, Musailamah al-Kadzab.

Suatu hari, ia menangkap dua orang dari sahabat Nabi Saw. Lalu Musailamah al-Kadzab bertanya pada keduanya, “Apakah kalian bersaksi bahwa aku adalah rasulullah (utusan Allah)?”

Mendengar pertanyaan itu, salah satu dari kedunya bersaksi kalau ia adalah utusan Allah, maka satu dari sahabat itu selamat.

Sementara, satu sahabatnya lain, yang tidak bersaksi akan kerasulannya, sahabat itu harus menerima risiko yang cukup berat, yaitu dipenggalnya kepalanya.

Saat berita ini sampai ke telingan Nabi Saw., Nabi Saw. menanggapinya, “Adapun orang yang terbunuh, ia syahid di jalan kebenaran, dan adapun sahabat yang kedua (yang bersaksi akan kerasulan Musilamah al-Kadzab), ia terampuni di sisi Allah, dan ia tidak berdosa.”[1]

Jika kita mau meneliti lebih dalam, maka kita akan juga banyak menemui riwayat-riwayat dari Ahlulbait tentang perintah taqiyah.

Sebab, di saat zaman Dinasti Umaiyah, tak sedikit para pecinta Imam Ali dan Ahlulbait Nabi yang melakukan taqiyah demi menjaga nyawa dan harta mereka.

Di antara riwayat yang bersumber dari Imam Maksumin as itu berbunyi sebagai berikut,

 “Tidaklah beriman sesiapa yang tidak bertaqiyah.”[2]

“Tidaklah beragama sesiapa yang tidak bertaqiyah.”[3]

Di dalam hadisnya yang masyhur, Imam Ja’far Shadqi juga pernah berkata, “Taqiyah adalah bagian dari agamaku dan agama dari dari kakek moyangngku.”[4]

Apakah Taqiyah hanya untuk Orang Kafir?

Sungguh, ketika para penentang Syiah menemukan riwayat yang jelas tentang taqiyah di buku-buku mereka, mereka selalau mengelak, bahwa apa yang dimaksud di dalam kitab terebut adalah bertaqiyah di hadapan orang-orang kafir. Bukan di hadapan orang-orang Muslim.

Untuk memudahkan dalam membuktikan kebenaran pernyataan mereka, apakah benar taqiyah hanya berlaku di hadapan orang kafir, maka sejenak kita mengakaji tentang beberapa dalil akal berikut, sehingga pengetahuan kita tentang taqiyah makin mantap, bahwa taqiyah tidak hanya berlaku saat berhadapan orang kafir saja, melainkan juga berlaku di hadapan orang Muslim.

Merujuk ke istilah taqiyah, yang berarati menjaga nyawa, keluarga dan harta benda dari orang-orang jahat, maka dari sini, kita sejenak berpikir, apakah yang dimaksud orang-orang jahat itu hanya orang kafir saja? Lagi pula, tak setiap orang kafir jahat, bukan?

Pertanyaan selanjutnya, apakah di dalam Islam nihil dari orang-orang jahat? Bukankah selama ini, yang kita lihat tentang orang-orang ISIS, yang jelas-jelas mengaku sebagai representasi umat Muhammad Saw., namun nyatanya mereka menghabisi nyawa-nyawa yang juga beriman kepada Nabi Muhammad Saw.?

Kalau sudah begini, apakah kita akan menyerahkan nyawa kita tanpa bertaqiyah? Bagi mereka yang memiliki akal sehat, mereka tak akan bersedia mati secara konyol di hadapan Muslim yang jahat itu.

Maka, salah satu cara yang kudu mereka lakukan—supaya aman dan terhindar dari kebengisan orang-orang yang mengaku Islam, tapi tak mencerminkan ajaran Islam itu sendiri—adalah dengan bertaqiyah.

Hal demikian juga kita saksikan tidak saja kepada orang-orang ISIS yang beragama Islam, melainkan bagi orang-orang Wahabi yang jelas-jelas memploklamirkan dirinya sebagai Muslim yang paling benar, namun di sisi lain tak pernah puas membasmi (baca: membunuh) orang-orang Syiah.

Mungkin, hal ini belum begitu parah terjadi di Indonesia. Namun, dengan melihat kejumudan mereka dalam memahami Islam berkat doktrin yang kuat, mereka tak pernah berhenti membenci Syiah.

Dengan demikian, apakah kita tidak boleh bertaqiyah di hadapan orang-orang wahabi yang keras dan pembeci itu?

Di dalam banyak kasus, sejatinya kalau kita mau lebih membuka kacamata pengetahuan kita lebih lebar dan jauh, maka kita akan mendapati kasus demi kasus yang menimpa orang-orang Muslim.

Beberapa tahun silam, telah beredar kabar tentang penyerangan kelompok Ahmadiyah, yang dilakukan orang-orang yang juga mengaku Muslim, bahkan sampai mereka membakar rumah ibadah mereka.

Jika bertaqiyah hanya boleh dilakukan di saat berhadapan dengan orang kafir, maka kita harus bersikap bagaimana menghadapi orang-orang Islam yang keras itu. Apakah kita disarankan untuk berdiam diri dan mati konyol?

Atau kita membalasnya, yang tentu hal itu tak akan bisa menyelesaikan masalah? Maka, di sini, kita bisa buktikan bahwa bertaqiyah tidak hanya berlaku di saat kita berhadapan orang kafir yang membahayakan, melainkan di hadapan orang Muslim yang juga membahayakan.

Sebab, tidak semua orang Islam baik, bahkan ada yang jahat. Maka, tanpa taqiyah tentu akan mengancam nyawa, keluarga dan harta benda kita, sebab yang menjadi ancaman bagi kita tidak saja datang dari orang kafir, bahkan seringnya, ancaman itu datang dari orang-orang Islam itu sendiri.

Kata Imam Syafi’i, sebagaimana yang termaktub di dalam Kitab Tafsir Naisaburi, ia berkata, “Diperbolehkan bertaqiyah di antara orang-orang Muslim, sebagaimana dibolehkan juga di antara orang-orang kafir sebagai bentuk perlindungan diri.”[5]

Bersambung…

Baca juga: Bolehkah Ber-taqiyah dalam Islam? (Bagian 1)

Baca juga: Bolehkah Ber-taqiyah dalam Islam? (Bagian 3)


[1] Musnad Abi Syabih, jil. 12, hal. 358.

[2] Tarikh Ya’qubi, juz 2 hal. 100.

[3] Tarikh Thabari, juz 10, hal. 284-292.

[4] Wasail as-Syiah juz 6, bab: Amar Ma’ruf Nahi Munkar, hal, hadis 2.

[5] Tafsir Naisyaburi fi Hasyiah Tafsir Thabari, juz 3, hal. 118.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

3 comments

  1. This is the right site for anyone who really wants to find out about this topic. You realize so much its almost hard to argue with you (not that I personally would want toHaHa). You definitely put a new spin on a topic that has been written about for years. Great stuff, just excellent!