Muslimmenjawab.com – Pada beberapa seri sebelumnya telah disebutkan beberapa defenisi tentang syiah. Pada salah satu defenisi tersebut, tepatnya defenisi yang disebutkan oleh Syahrastani dijelaskan bahwa Syiah adalah yang meyakini imamah dan kekhalifahan setelah Nabi SAWW berdasarkan nash.
Ini merupakan pernyataan yang tepat, karena memang mazhab Syiah berkeyakinan bahwa kepemimpinan imam Ali dan imam-imam setelahnya berdasarkan nash yang jelas.
Dalam rangka membuktikan hal tersebut pada tulisan ini akan dipaparkan dalil yang tertera di dalam kitab Sunni yang menyatakan bahwa kepemimpinan imam Ali AS setelah Nabi SAWW didukung oleh nash yang valid dan akurat.
Dalil tersebut adalah riwayat yang diabadikan oleh Hakim Naisaburi di dalam kitabnya al-Mustdrak Ala al-Shahihain: dari Zaid bin Arqam RA ia berkata: ketika Rasulullah Saww kembali dari haji wida’ dan singgah di gadir khum, ia memerintahkan untuk membersihkan bawah pepohonan dari duri dan sampah kemudian beliau bersabda: sepertinya aku sudah dipanggil lalu aku memenuhi panggilan itu. Sungguh aku meninggalkan dua perkara berharga untuk kalian. Salah satunya lebih agung dari lainnya. Yaitu kitabullah dan itrah (keluarga) ku. Maka lihatlah apa yang akan kalian lakukan terhadap keduanya sepeninggal ku. Sesungguhnya keduanya tidak akan berpisah sehingga datang menghadap ku di sisi telaga. Kemudian ia bersabda: sesunggunya Allah SWT adalah maula (pemimpin) ku dan aku adalah maula (pemimpin) setiap muslim. Kemudian ia memegang tangan Ali RA lalu bersabda: barang siapa yang aku adalah maulanya (pemimpin) maka ini Ali adalah maulanya (pemimpin). Ya Allah sayangilah yang menyayanginya dan musuhilah yang memusuhinya. Hakim Naisaburi menyebutkan hadits yang panjang ini. Dan berkata : ini hadis Shahih berdasarkan Bukhari dan Muslim tetapi keduanya tidak meriwayatkannya.[1]
Perlu disampaikan bahwa kata maula dalam riwayat ini bermakna pemimpin bukan makna lainnya dengan alasan berikut:
Pertama: sebelum menyampikan pesan ini, Nabi SAWW memberi berita akan wafatnya beliau, lalu ia berpesan untuk berpegang pada al-Quran dan itrat (keluarga)nya. Setelah itu baru kemudian ia memperkenalkan imam Ali sebagai maula (pemimpin). Dari sini dapat dipahami bahwa hal ini dalam rangka memperkenalkan sosok yang akan menggantikan dirinya sebagai pemimpin dan pemegang otoritas setelahnya. Bukan untuk memperkenalkan imam Ali sebagai teman atau orang yang harus dicintai.
Ke dua: jika maksud dari maula dalam riwayat adalah teman atau penolong dan bukan pemimpin, maka nabi tidak perlu menyampaikan pemberitahuan tersebut dalam kondisi seperti di Gadir Khum saat itu. dimana beliau terpaksa harus mengumpulkan para jamaah haji di sana dan memerintahkan kembali mereka yang telah meninggalkan tempat itu.
Riwayat ini hanya merupakan salah satu bukti jika kepemimpinan setelah Nabi memang berdasarkan nash. Pada seri berikutnya akan disebutkan bukti-bukti lainnya.
[1] Hakim Naisaburi, Muhammad bin Abdillah, al-Mustadrak Ala al-Shahihain, jil: 3, hal: 118, cet: Dar Kutub al-Ilmiah.