Abu Ishaq as-Sabi’i dan Tahrif Al-Quran

tahrif

MUSLIMMENJAWAB.COM – Tahrif Al-Quran merupakan salah satu kasus yang menjadi topik perbincangan para ulama Islam. Hal ini berangkat dari berbagai berita mengenai Al-Quran yang sampai kepada mereka dari para pendahulu termasuk para tabi’in dan sahabat.

Salah satunya adalah sosok Abu Ishaq as-Sabi’i, bernama lengkap Abu Ishaq Amru bin Abdullah as-Sabi’i al-Kufi. Ia terlahir pada tahun 34 atau 35 H dikenal sebagai seorang yang saleh ahli ibadah juga ahli hadis di kota Kufah. Abu Ishaq meninggal pada tahun 128 H.

Read More

Ia adalah seorang tsiqah dan termasuk ke dalam golongan tabi’in yang mana pernah belajar langsung kepada beberapa sahabat. Dan inilah deretan nama-nama guru-gurunya dari kalangan Sahabat Nabi SAW yang sebagian dari mereka  memiliki riwayat yang banyak dari beliau: Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Adi bin Hatim, Ibnu ‘Abbas, al-Bara bin Azib, Zaid bin Arqam, ‘Abdullah bin Amr bin al-Ash, Abu Juhaifah as-Suwa`i , Sulaiman bin Shurd, ‘Umarah bin Ruwaibah ats-Tsaqafi, Abdullah bin Yazid al-Anshari, Amr bin Harits al-Khuza’i, Usamah bin Zaid RA dan lain-lain.[1]

Dalam kaitan dengan persoalan tahrif Al-Quran, Abu Ishaq menyebut dua surat dalam sebuah riwayat, yang mana surat tersebut tidak terdapat dan ditemukan dalam naskah Al-Quran yang ada saat ini. Hal ini menunjukkan adanya pengurangan dalam Al-Quran.

Riwayatnya adalah sebagai berikut :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ رَاهَوَیْهِ، ثنا أَبِی، ثنا عِیسَى بْنُ یُونُسَ، حَدَّثَنِی أَبِی، عَنْ جَدِّی، قَالَ: أَمَّنَا أُمَیَّة بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ خَالِدِ بْنِ أُسَیْدٍ بِخُرَاسَانَ فَقَرَأَ بِهَاتَیْنِ السُّورَتَیْنِ إِنَّا نَسْتَعِینُکَ وَنَسْتَغْفِرُکَ

“Telah bercerita pada kami Muhammad bin Ishaq bin Rahawaih, telah bercerita pada kami ayahku, telah bercerita pada kami Isa bin Yunus, telah bercerita pada kami ayahku, dari kakekku (Abu Ishaq), ia berkata: ‘Telah mengimami kami Umayyah bin Abdullah bin Khalid bin Usaid di Khurasan (salah satu wilayah persia), ia membaca dua surat ini: Inna nastai’inuka wa nastaghfiruka.’”

(al-Mu’jam al-Kabir, jil: 1, hal: 292-293, Maktabah Ibnu Taimiyah, Kairo)

Begitu pula riwayat ini dinukil oleh Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitabnya Al-Itqan Fi Ulumil Quran:

وأخرج الطبراني بسند صحيح، عن أبي إسحاق، قَالَ: أَمَّنَا أُمَیَّة بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ خَالِدِ بْنِ أُسَیْدٍ بِخُرَاسَانَ فَقَرَأَ بِهَاتَیْنِ السُّورَتَیْنِ إِنَّا نَسْتَعِینُکَ وَنَسْتَغْفِرُکَ

“Dan at-Thabrani telah mengeluarkan dengan sanad yang sahih dari Abu Ishaq, ia berkata: ‘Telah mengimami kami Umayyah bin Abdullah bin Khalid bin Usaid di Khurasan (salah satu wilayah persia), ia membaca dua surat ini: Inna nastaiinuka wa nastaghfiruka.’”

(Al-Itqan Fi Ulumil Quran, jil: 1, hal 185)

Hal yang sama dilakukan oleh Nuruddin al-Haitsami, ia menukil riwayat dari Abu Ishaq:

وعن أبي إسحاق قال: أَمَّنَا أُمَیَّة بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ خَالِدِ بْنِ أُسَیْدٍ بِخُرَاسَانَ فَقَرَأَ بِهَاتَیْنِ السُّورَتَیْنِ إِنَّا نَسْتَعِینُکَ وَنَسْتَغْفِرُکَ قال: فذكر الحديث. رواه الطبراني ورجاله رجال الصحيح

“Dari Abu Ishaq, ia berkata: ‘Telah mengimami kami Umayyah bin Abdullah bin Khalid bin Usaid di Khurasan (salah satu wilayah persia), ia membaca dua surat ini: Inna nastai’inuka wa nastaghfiruka.’” Telah meriwayatkannya at-Thabrani dan para periwayatnya (Rijaluhu) adalah para periwayat sahih.

(Majma az-Zawaid wa Man’u al-Fawaid, jil: 7, hal: 326, Dar al-Fikr, Beirut)

Berdasarkan beberapa keterangan di atas dapat kita lihat sendiri bahwa Abu Ishaq menyebut bagian itu dengan dua surat, ia tidak menyebutnya sebagai doa ataupun dzikir, yang mana hal ini dengan jelas menggambarkan bahwa ia meyakini itu merupakan bagian dari Al-Quran. Namun kenyataannya bagian tersebut tidak terdapat dalam Al-Quran yang ada di hadapan kita saat ini.

Dengan hal ini dapat kita simpulkan bahwa persoalan tahrif bukanlah persoalan yang hanya ada pada madzhab Syiah secara khusus namun hal ini juga banyak ditemukan dalam sumber-sumber riwayat yang ada dalam madzhab Ahlu Sunnah terlepas dari diterima atau tidaknya hal tersebut.

Yang penting untuk disadari adalah sejauh mana kita memiliki kedewasaan dalam menyikapi segala bentuk syubhat atau ketidakjelasan terkait masalah agama, bukan dengan fanatik dan gampang mengkafirkan. Wallahu A’lam Bishawab.


[1] Siyar A’lam an-Nubala, jil: 5, hal: 394.

Related posts

Leave a Reply