Tauhid Sifat: Allah Swt Menunggangi Keledai

MUSLIMMENJAWAB.COM – Melanjutkan pembahasan sebelumnya yang membicarakan persoalan seputar akidah yang didasari oleh literasi yang terbatas pada teks-teks agama (naqli; al-Quran serta hadis) dengan metode yang cenderung kaku dalam memahaminya. Karateristik seperti ini salah satunya dapat ditemukan pada orang-orang yang menganut pandangan Wahabi.

Seperti yang telah disebutkan, cara berpikir ini akan otomatis membawa pemiliknya pada keyakinan yang menisbahkan Jism (tubuh materi) bagi Allah swt, seperti halnya contoh-contoh yang telah dibawakan pada tulisan yang lalu. Kali ini kita juga akan menukil contoh lainnya dalam kasus yang sama.

Read More

Ibnu Asakir (w 571 H) sekaitan dengan kasus ini mencatat dalam kitabnya dengan tulisan yang cukup panjang, namun diantaranya ia membawakan peryataan yang menyebutkan:

“..Sesungguhnya Allah Swt turun dengan Dzat-Nya (ke bumi) dan bolak-balik menunggangi keledai..”[1]

Pernyataan di atas secara jelas akan memberikan gambaran materi dari Allah Swt, apabila kita berpegang pada metode yang telah dibahas sebelumnya. Oleh sebab itu, hal tersebut mengundang para ulama untuk menanggapinya. Seperti yang dilakukan oleh Allamah Hilli (w 726 H):

“Dan sebagian mereka mereka meyakini bahwa Allah Swt turun setiap malam jumat dalam bentuk seorang pemuda yang indah wajahnya dengan menunggangi keledai, bahkan sebagian mereka di Baghdad meletakan palung (tempat makanan hewan) di atap rumahnya, mengisinya pada setiap malam jumat dengan gandum dan jerami, untuk menarik sehingga (ketika) Allah Swt turun menunggangi keledainya, turun di atap rumah tersebut. Kemudian keledai sibuk dengan makan dan Allah Swt sibuk dengan seruan ‘Adakah seorang yang bertobat? Adakah seorang yang meminta ampunan?’ Maha luhur Allah dari akidah-akidah tertolak seperti ini dalam hak-Nya Swt.”[2]

Dari catatan tersebut dapat kita lihat bahwa Allamah Hilli tidak sepakat dengan akidah atau cara pandang seperti itu terhadap Allah Swt, yang mana tentunya hal ini bermuara pada metode yang digunakan dalam menyikapi teks-teks agama yang ada. Oleh karena itu, demi memperoleh akidah yang benar maka diperlukan pula metode yang benar dalam menganalisa teks-teks tersebut.


[1] Ibnu Asakir, Tabyinu Kidzbi al-Muftara, jil: 1, hal: 311.

[2] Allamah Hilli, Minhaj al-Karamah fi Marifah al-Imamah, hal 39.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 comment