MUSLIMMENJAWAB.COM – Gerakan pemikiran Wahabi merupakan salah satu fenomena yang banyak menarik perhatian para ulama dari sejak awal kelahirannya hingga perkembangannya pada masa sekarang.
Hal tersebut dapat kita lihat dari jejak tulisan para ulama terdahulu maupun yang masih hidup saat ini, yang memberikan tanggapannya terkait kelompok tersebut dari sudut pandangnya masing-masing.
Syekh Abdul Hamid Al-Syarwani merupakan salah satu ulama bermadzhab Syafi’i yang berprestasi pada masanya karena karyanya. Pada saat itu ia berhasil menyusun Hasyiah (catatan kaki penjelasan) terhadap kitab rujukan karya Ibnu Hajar al-Haitami yang berjudul Tuhfah al-Muhtaj Bisyarh Minhaj, sebuah kitab yang membahas persoalan-persoalan fikih madzhab Syafi’i hingga zamannya penulis kitab tersebut.
Dalam karyanya tersebut, ia mencatat:
“Dia adalah Ibnu Taimiyah dan orang-orang yang mengikutinya dari sekte sesat yang dikenal di zaman kita sebagai Wahabiyah (Wahabi), semoga Allah SWT menelantarkankan mereka.”[1]
Pada pernyataan di atas Syekh Al-Syarwani melihat akar dari gerakan pemikiran Wahabi kembali pada sosok Ibnu Taimiyah, dan pada saat yang sama ia juga menyebut kelompok atau sekte mereka dengan memberikan sifat “yang sesat”.
Sosok ulama lainnya adalah Muhammad Abduh (w 1323 H/ 1905), ia merupakan seorang ulama yang berasal dari Mesir, juga salah satu penggagas gerakan modernisme Islam. Dalam sebuah kitabnya yang berjudul Al-Islam wal Nashraniyah Ma’al Ilmi wal Madaniyah, ia berbicara mengenai kelompok Wahabi sebagai berikut:
“Kecuali kelompok yang mengklaim bahwa mereka telah menghilangkan debu taqlid dan menghapus hijab yang menghalangi mereka untuk melihat ayat-ayat Al-Qur’an dan teks-teks hadis, dalam memahami hukum-hukum Allah darinya (ayat dan hadis), tetapi kelompok ini lebih sempit (pemikirannya) daripada orang-orang yang ber-taqlid… Mereka menganggap wajibnya mengambil apa yang dipahami dari kata yang masuk (yang muncul dalam ayat atau hadis) dan berpegang teguh padanya tanpa memperhatikan apa yang disyaratkan oleh prinsip-prinsip yang menjadi dasar agama, tujuan dakwah serta alasan dianugerahkannya kenabian. Oleh sebab itu mereka bukanlah para pemilik pengetahuan, juga bukanlah pecinta bagi peradaban yang sehat.”[2]
Kemudian dalam catatan kakinya disebutkan:
“Kelompok ini yakni ahli hadis dan orang-orang yang menyebutnya dengan Wahabiyah (Wahabi)…”[3]
Dari kutipan tersebut, salah satu hal yang disoroti oleh Muhammad Abduh ialah bahwa kelompok tersebut memiliki pandangan akan harusnya mengambil makna harfiah dari lafal-lafal yang terdapat pada ayat maupun hadis tanpa menimbangnya dengan hal-hal yang menjadi tuntutan dari asas-asas agama, tujuan dakwah dan kenabian, sehingga hal tersebut biasanya akan melahirkan pemikiran yang kaku. Oleh sebab itu pada awal pernyataannya ia menyebutnya dengan sempit pemikiran.
[1] Hawasyi Tuhfah al-Muhtaj Bisyarh Minhaj, Al-Syarwani, Abdul Hamid, jil: 4, hal: 144.
[2] Al-Islam wal Nashraniyah Ma’al Ilmi wal Madaniyah, Muhammad Abduh, hal: 127-128.
[3] Ibid.