Muslimmenjawab.com – Naskh bacaan (terjadi penghapusan bacaan) tapi tetap berlaku hukumnya (naskh tilawah wa baqa al-hukm) merupakan salah satu bagian dari naskh al-Quran yang digagas oleh ulama-ulama sunni dalam rangka menyelesaikan problem beberapa riwayat tentang terjadinya pengurangan pada al-Quran.
Sebagaimana telah disebutkan dalam seri-seri sebelumnya bahwa di dalam literatur hadits sunni juga terdapat banyak riwayat yang menyatakan adanya pengurangan pada al-Quran. Mengingat bahwa riwayat-riwayat ini terdapat di dalam kitab-kitab yang kredibel dan disampaikan oleh orang-orang yang dianggap panutan, maka tidak mungkin menolak riwayat yang ada, oleh karena itu naskh tilawah wa baqa al-hukm dijadikan sebagai solusi.
Jalaluddin Suyuthi di dalam al-Itqannya menyebutkan perekataan Ibn Jauzi tentang hikmah di balik terjadinya naskh tilawah wa baqa al-Hukm: “yang demikian itu dalam rangka memperlihatkan kadar ketaatan ummat ini dalam bersegera untuk menyerahkan diri hanya dengan bukti yang bersifat dugaan tanpa harus menuntut penjelasan yang bersifat pasti. mereka bersegera hanya dengan sesuatu yang sifatnya mudah dan sederhana, sebagai mana Ibrahim Khalil bersegera menyembelih anaknya hanya dengan bermimpi. Padahal mimpi adalah jalur wahyu yang paling rendah.”[1]
Tidak lupa ia juga memuat dan menyertakan banyak riwayat seputar hal tersebut. Namun mengingat bahwa riwayat-riwayat tersebut sudah disebutkan dalam seri-seri sebelumnya maka di sini hanya dimuat sebagiannya saja (dalam bentuk foto)dan tanpa meneyebutkan terjemahannya. Bagi yang ingin lebih detil maka dapat melihat langsung pada seri-seri sebelumnya atau langsung merujuk kitab al-itqan, karena yang ingin disampaikan pada tulisan kali ini adalah bantahan terhadap naskh tilawah wa baqa al-Hukm itu sendiri.
Pendapat ini sebenarnya memiliki konsekuensi adanya tahrif al-Quran. Untuk itu pada seri ini akan disebutkan bantahan atas hal tersebut.
Sayyid Khuii dalam kitabnya al-Bayan Fi Tafsir al-Quran memaparkan sanggahan seperti ini: “penjelasannya: naskh tilawah ini mungkin saja dilakukan oleh Rasulullah Saww atau oleh orang- orang yang memegang tampuk kekeuasaan setelahnya. Jika yang berpendapat akan naskh ini menganggap hal tersebut dilakukan oleh Rasulullah SAWW, maka perlu pembuktian. Padahal para ulama telah sepakat bahwa hadits ahad tidak dapat menasakh al-Quran. Hal itu telah ditegaskan oleh sekelompok ulama dalam kitab ushul fiqih dan lainnya. Bahkan Syafii, kebanyakan sahabatnya dan mayoritas mazhab zahiriah memastikan bahwa al-Quran tidak dapat dinasakh dengan riwayat mutawatir. Ahmad bin Hanbal juga memilih pendapat ini berdasarkan salah satu dari dua riwayat darinya. Bahkan kelompok yang mengatakan kemungkinan terjadinya naskh dengan riwayat mutawatir, menolak jika hal itu telah terjadi. Atas dasar ini bagai mana mungkin menyematkan naskh ini kepada Rasulullah SAWW dengan menggunakan riwayat-riwayat mereka ini? Apa lagi penyematan ini bertentangan dengan sebagian riwayat yang mengatakan bahwa pengurangan terjadi setelah Rasulullah SAWW. Dan jika naskh yang mereka maksud terjadi setelah Nabi dan dilakukan oleh orang-orang yang memegang otoritas kekuasaan setelahnya, maka dipastikan hal ini adah “tahrif” itu sendiri. [2]
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa mengakui adanya naskh tilawah wa baqa al-hukm, sama dengan mengakui adanya tahrif. Karena hal itu tidak keluar dari dua kemungkinan. kemungkinan pertama naskh terjadi di zaman Nabi SAWW maka harus ada bukti, yang dalam hal ini tidak ada karena riwayat bersifat ahad, bahkan sebagian riwayat juga menentang hal itu (pengurangan terjadi setelah zaman Nabi SAWW). Kemungkinan kedua: hal itu terjadi setelah zaman Nabi, ini juga berarti telah terjadi tahrif.
[1] Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman bin abi bakr, al-Itqan Fi Ulum al_quran, hal: 529, cet: Dar Kitab al-Arabi.
[2] Khuii, Abu al-Qasim, al-Bayan Fi Tafsir al-Quran, hal:206, cet: Muassasah Ihya Atsar Imam Khuii.