MUSLIMMENJAWAB.COM – Salah satu persoalan yang menjadi pembeda antara kelompok Wahabi dengan selainnya adalah prinsip pemikiran yang memahami teks-teks agama baik Alquran maupun hadis dengan metode yang fokus pada makna Dzahir (lahir atau tampak), meninggalkan campur tangan akal serta takwil dalam memaknainya.
Hal ini memberikan hasil berupa keyakinan yang cukup kontroversial di tengah kaum muslimin yakni keyakinan Tajsim ataupun Tasybih seperti yang pernah kita bahas pada tulisan-tulisan sebelumnya.
Sekaitan dengan tema ini, ternyata imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali juga pernah sedikit mengulas masalah yang mirip dalam kitabnya yang populer yaitu Ihya Ulum al-Din.
Pembahasan tersebut sebetulnya menyinggung orang-orang yang berupaya untuk memahami dzat, sifat dan asma Allah Swt dengan bersandar pada akal atau pikirannya sendiri, yang mana pada akhirnya mereka terperosok pada keyakinan yang berupa Tajsim maupun Tasybih.
Pembahasan ini dapat ditemukan pada sub-bab yang bernama Kitab Tafakkur, bagian kedua mengenai “Berpikir dalam dzat, sifat serta makna-makna dari asma-Nya”.
Mulanya penulis kitab membawakan riwayat yang menyuruh kita untuk berpikir pada ciptaan Allah Swt serta melarang kita dari berpikir dalam dzat-Nya.
Menurutnya, pelarangan ini tidak lain berangkat dari ketidakmampuan akal manusia dalam memahami dzat Allah Swt, akal manusia akan menjadi bingung dan heran dalam berpikir mengenai dzat-Nya. Kemudian ia umpamakan dengan penglihatan kelelawar atau manusia bagi yang Shiddiq terhadap matahari. Pada akhirnya tidak ada yang mampu melihatnya baik secara langsung ataupun secara dawam (terus-menerus). Oleh sebab itu yang tepat adalah tidak membiarkan pikiran masuk ke ranah tersebut sebab kebanyakan pikiran (akal) tidak mampu menerimanya.
Adapun kadar sederhana yang dijelaskan sebagian ulama ialah bahwa Allah Swt disucikan dari tempat, dikuduskan dari wilayah serta arah, dan bahwa Ia tidak di dalam dunia serta bukan di luarnya, dan juga Ia tidak terhubung dengan dunia dan juga Ia tidak terpisah darinya.
Pernyataan ini telah membuat bingung sekelompok orang hingga mereka mengingkarinya karena mereka tidak mampu menerima atau tahan mendengarnya.
Bahkan lebih dari itu, ketika dikatakan kepada mereka bahwa Dia (Allah Swt) terlalu agung dan transenden untuk memiliki kepala, kaki, tangan, mata, dan organ, dan bahwa Ia (Allah Swt) adalah tubuh yang memiliki ukuran dan ukuran. Mereka menyangkal hal ini dan mengira bahwa itu adalah penghinaan terhadap keagungan dan kebesaran Allah Swt.[1]
Sampai di sini keterangan dari imam Ghazali, adapun yang dapat kita simpulkan, setidaknya dua hal berikut:
Pertama, terdapat kemiripan pada dua kasus di atas yang mana keduanya memiliki tahapan dimana seseorang terjebak dalam masalah Tajsim dan Tasybih.
Kedua, imam Ghazali memilih batasan yang sering dijelaskan para ulama bahwa Allah Swt tidak dibatasi dengan tempat, wilayah atau pun arah.
[1] Abu Hamid, Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jil: 9, hal: 265, Dar al-Minhaj.