Muslim Menjawab – Pada tulisan sebelumnya sudah banyak dikupas seputar caci maki dan pelaknatan. Masih berkaitan dengan tema di atas untuk seri kali ini dan beberapa seri berikutnya akan dibahas tema yang berkaitan dengan keadilan sahabat.
Namun sebelum masuk lebih jauh dalam mengulas tema ini, terlebih dahulu perlu diutarakan tujuan dari mengangkat permasalahan ini.
Hal ini mengingat bahwa ada kalangan yang menganggap pembahasan ini sudah basi dan kadaluarsa oleh karena itu tidak relevan lagi untuk dijadikan bahan kajian.
Lebih dari itu ada juga yang menganggap bahwa mengangkat tema ini sembari mempertanyakan keadilan sahabat merupakan kelancangan dan hal itu dapat mengantarkan pelakunya kepada “ke-zindikan”. Di dalam kitab al-Ishabah disebutkan:
“kemudian diriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Zarah al-Razi, ia berkata: jika engkau menyaksikan seseorang menyebutkan kekurangan salah seorang sahabat Rasul SAWW, maka ketahuilah bahwa ia adalah zindik. Karena Nabi, al-Quran dan apa yang dibawa olehnya adalah hak. Yang menyampaikan semua itu kepada kita adalah sahabat. Mereka ingin menganggap cacat para saksi-saksi kita untuk membatalkan al-Quran dan sunnah. Menganggap mereka (pengkaji) cacat lebih layak karena mereka adalah orang-orang zindik.[1]”
Dalam menanggapi hal ini ayatulah Ja’far Subhani memberikan komentar dengan menjelaskan tujuan dari membahas keadilan sahabat:
“tujuan dari mengkaji keadilan sahabat sama persis dengan tujuan mengkaji keadilan para tabiin dan perawi generasi belakangan setelahnya. Semuanya bertujuan untuk mengenal yang baik dan yang buruk, sehingga menjadi tradisi seorang pengkaji untuk memperoleh ajaran agama dari orang-orang baik serta menghindari orang-orang buruk. Jika seseorang melakukan pengkajian terhadap keadaan mereka dengan tujuan ini, maka hal itu tidaklah tercela.[2]”
Lebih lanjut, dalam menyikapi pernyataan Abu Zarah beliau berkomentar:
“tidaklah baik seorang alim menuduh orang yang ingin kekokohan dalam agamanya dan melakukan penelitian dalam tuntutan-tuntutan syariah sebagai zindik, apa lagi menuduhnya berkeinginan memberikan label cacat bagi para saksi kaum muslimin dengan tujuan membatalkan al-Quran dan sunnah. Padahal para saksi kaum muslimin tidak lain kecuali ribuan dari sahabat SAWW. Menganggap cacat sebagian mereka dan adil sebagian lainnya, tidak akan mencederai al-Quran dan Sunnah. Karena agama yang lurus ini tidak tegak dengan keberdaan mereka yang cacat (itu).[3]”
Berangkat dari penjelasan di atas, mengkaji keadilan dan sejarah sahabat bukanlah hal yang basi apa lagi menjadikan pelakunya sebagai zindik. Sebab kajian ini memiliki filosofi yang jelas; yaitu memperoleh ajaran agama dari sumber-sumber yang autentik dan valid.
[1] Ibn Hajar al-Asqallani, Ahmad bin Ali bin Muhammad, al-Ishabah, jil: 1, hal: 7, cet: al-Saadah, Mesir.
[2] Subhani, Ja’far, Dalil al-Mursyidin Ila al-Haq al-Yaqien, hal: 371, cet: Markaz al-Qaimiah, Ishfahan.
[3] Subhani, Ja’far, Dalil al-Mursyidin Ila al-Haq al-Yaqien, hal: 371, cet: Markaz al-Qaimiah, Ishfahan.