MUSLIMMENJAWAB.COM – Takfir atau pelabelan kafir maupun musyrik yang merupakan salah satu karakter melekat pada ajaran Wahabi ternyata bertentangan dengan al-Quran, Hadits Nabi Saw, riwayat Ahlulbait Nabi, atsar sahabat maupun pandangan pemuka ulama mazhab Ahlus Sunnah.
Sejalan dengan pandangan di atas, para pembesar ulama mazhab Syiah juga dengan tegas menentang pemikiran takfir yang dianut oleh kelompok Wahabi tersebut.
Muhammad Husain Kasyiful Ghitha di dalam salah satu karyanya menyebutkan syarat yang cukup sederhana dalam menentukan seseorang untuk menyandang predikat seorang muslim:
“Iman dan Islam memilliki makna yang sama. Keduanya dugunakan untuk makna yang lebih umum yang berbasis pada tiga rukun; mengesakan tuhan, mengimani kenabian dan hari akhir. Jika seseorang mengingkari salah satu di antaranya maka ia bukanlah muslim serta mukmin. Apabila seseorang meyakini keesaan Allah, kenabian Rasulullah dan dan percaya terhadap hari pembalasan; beriman kepada Allah, rasulNya dan hari akhir maka ia benar-benar telah menjadi seorang muslim. Dia mendapatkan hak-hak sebagai muslim dan memiliki kewajiban yang sama dengan umat Islam. Jiwa, harta serta harga dirinya (kehormatan) mendapat jaminan.”[1]
Literatur di atas dengan tegas memberikan tolok ukur yang sangat jelas dalam menetapkan seseorang sebagai muslim atau tidak.
Percaya terhadap tiga rukun inti; keesaan Allah Swt, kenabian Rasulullah Saw dan hari akhir, merupakan tolok ukur yang dapat dijadikan patokan bagi keislaman seseorang.
Atas dasar ini, jika seseorang telah mengucapkan syahadatain dan meyakini tiga rukun di atas maka ia telah menjadi muslim.
Dengan demikian, maka semua hak maupun kewajiban yang dimiliki oleh seorang muslim, secara otomatis akan ia miliki.
Jiwa, harta dan harga dirinya mendapat penghormatan; sehingga tidak ada seorang pun yang berhak menhilangkan jiwanya, merampas hartanya maupun menodai kehormatan serta harga dirinya.
Hal ini mengingat bahwa tidak seorangpun berhak memberi label kafir maupun musyrik terhadap muslim lain yang memiliki keyakinan terhadap tiga rukun di atas.
[1] Kasyiful Ghitha, Muhammad Husain Aal, Ashl al-Syiah wa Ushuluha, hal: 133-134, cet: Dar al-Adwak, Beirut, pertama, 1410 H/ 1990 M