MUSLIMMENJAWAB.COM – Di dalam tulisan sebelumnya, penulis telah mengulas seputar filosofi menangis, lebih-lebih menangis untuk kesyahidan Imam Husain as. Apa yang penulis gurat di tulisan sebelumnya masih belumlah sempurna. Karenanya, tulisan ini—untuk mengatakan tidak berlebihan—mudah-mudahan bisa menjadi penyempurna dari tulisan sebelumnya.
Kalau Anda membaca tulisan sebelumnya, Anda pasti ingat, bahwa ada tiga hal yang penulis soroti. Pertama, menangis, terlebih menangis untuk Imam Husain, menurut fitrah manusia. Kedua, menangisi Imam Husain karena penegasan hadis dari para imam maksum. Dan yang terakhir, menangis menurut al-Quran.
Mungkin, di tulisan kali ini, penulis hanya hendak menghadirkan beberapa contoh nyata tentang menangis, yang pernah dilakukan oleh nabi-nabi. Melalui sederet contoh yang penulis bawakan, semoga menjadi penegasan, bahwa menangisi seseorang bukanlah hal negatif. Justru, itu adalah hal yang positif, yang juga pernah dilakukan oleh para nabi.
Jauh sebelum kita sampai pada pembahasan ini, kami telah mengulas sebuah riwayat yang menceritakan tentang Nabi Muhammad, yang telah menangisi Imam Husain. Dari riwayat tersebut, kita tak bisa menampik, bahwa menangisi Imam Husain adalah sebuah sunnah, sebab nabi melakukannya. Untuk membuktikan itu, penulis hadirkan redaksi terjemahannya di bawah ini yang diterjemahkan langsung dari kitab Sunni.
Dari Abbad bin Ishak, dari Hasyim bin Hasyim dari Abdullah bin Wahab dan dari Ummu Salamah, bahwa ia berkata, “Rasulullah Saw. memasuki rumahku.”
“Tiada seorang pun yang menjumpaiku,” kata Rasulullah saw.
“Dan aku mendengar suara, lalu aku masuk rumah. Di sisi Nabi ada Husain bin Ali bin Abi Thalib. Dan ia (Nabi Saw) terlihat sedih,” kata Ummu Salamah.
“Nabi menangis,” katanya lagi.
“Apa yang membuatmu menangis, Wahai Rasulullah?” Tanya Ummu Salamah.
“Jibril telah mengabarkan kepadaku, bahwa umatku setelahku akan membunuh Husain,” kata nabi.
“Siapa yang akan membunuhnya?” Tanya Ummu Salamah.
“Penghuni bumi ini yang akan membunuhnya,” jawab Rasulullah saw sembari mengambil sebongkah tanah (itu). [1]
Terkait riwayat di atas, Anda bisa membaca tulisan lengkapnya di sini.
Iya, menurut penulis, jejak riwayat di atas adalah sebuah bukti yang tak lagi dapat kita tolak. Bahkan, riwayat tersebut seolah menjadi tameng di hadapan orang-orang yang selalu mempermasalahkan pekerjaan menangis untuk Imam Husain. Di sisi lain, dari riwayat itu pulalah yang kemudian lahir asal-usul menangisi Imam Husain as.
Lebih dari itu, ada beberapa ayat al-Quran yang menceritakan tentang beberapa sosok nabi yang bersedih dan menangis. Salah satunya Nabi Ya’kub yang bersedih saat mendengar kabar dari anak-anaknya (saudara nabi Yusuf) tentang hilangnya Nabi Yusuf, lantaran telah mereka ceburkan ke dalam sumur, dan berdalih bahwa Nabi Yusuf hilang diterkam hewan buas. Untuk meyakinkan ayah mereka, hal itu mereka buktikan melalui sobekan baju Nabi Yusuf yang dilumuri oleh darah.
Mendengar kabar hilangnya putra kesayangannya, Nabi Ya’kub pun bersedih bukan kepalang. Kejadian ini direkam oleh al-Quran, Surah Yusuf, ayat 84.
Dan Ya’qub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: “Aduhai duka citaku terhadap Yusuf”, dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya).
Di ayat lain dikatakan,
Dia (Yakub) menjawab, “Hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku. Dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Yusuf: 86).
Terkait ayat di atas, Jalaludin Suyuthi di dalam tafsirnya, Addurul Mantsur, mengatakan bahwa Nabi Ya’kub menangisi Nabi Yusuf selamanya delapan puluh tahun, sampai kedua matanya terlihat sedih dan berwarna putih. [2]
Ulasan di atas, baik terkait riwayat Nabi Muhammad tentang menangis untuk Imam Husain, ditambah lagi rekaman al-Quran yang menceritakan kesedihan Nabi Ya’kub saat kehilangan Nabi Yusuf, memberikan pesan kepada kita, bahwa perbuatan menangis bukanlah hal yang negatif. Di sisi lain, jejak sederet nabi yang menangis menandai akan keabsahannya (menangis/bersedih) di dalam syariat-agama. Wallahu a’lam bi as-shawab.
[1] Masyaikhah Ibnu Thamhan, Ibrahim Thamhan, hal. 55. Cetakan Damaskus. 1983 M/1403 M.
[2] Ad-Durul Mantsur, Imam Suyhuti. jil 4, hal. 31.