Adakah Sahabat Nabi yang Murtad?

MUSLIMMENJAWAB.COM – Masih berkaitan dengan pembahasan keadilan sahabat nabi. Seperti yang kita tahu, ulama Ahlusunnah berkeyakinan bahwa setiap sahabat adalah adil. Meski begitu, faktanya ada beberapa sahabat nabi yang jauh dari sikap adil.

Setidaknya, sikap sahabat nabi yang jauh dari sifat adil, itu dapat kita temui dalam beberapa literatur Islam, seperti yang sudah kami singgung di dalam sederet tulisan sebelumnya. Masih berkaitan bukti tentang sebagian sahabat nabi yang jauh dari sikap adil.

Kali ini, penulis menemukan bukti berupa riwayat tentang sahabat nabi yang murtad. Tentu, hal ini semakin membuka mata pikiran kita tentang sahabat yang selama ini selalu digaungkan sebagai pribadi yang adil dan bahkan ahli surga.

Menurut KBBI murtad memiliki arti berbalik belakang, berbalik kafir dan membuang iman. Umumnya, murtad lebih lazim dipahami seseorang yang keluar dari Islam. Ibnu Katsir di dalam kitabnya, Al-Bidayah wa An-Nihayah  mengkonfirmasi tentang adanya sahabat nabi yang murtad.

Seperti yang kita tahu, Ibnu Katsir adalah ulama Ahlusunnah bermazhab Syafi’i, yang ahli di bidang tafsir al-Quran dan Hadis. Di antara kitabnya yang paling masyhur adalah Tafsir Ibnu Katsir dan Al-Bidayah wa An-Nihayah.

Adapun dengan sahabat nabi yang murtad, dapat kita lihat di dalam kitabnya, Al-Bidayah wa An-Nihayah. Di dalam kitab tersebut, ia menulis sebagai berikut.

Diriwayatkan dari Aisyah, bahwa ia berkata, “Seluruh orang Arab, setelah wafat nabi, mereka telah murtad.” [1]

Di dalam riwayat lain dinukil dari Rasulullah Saw., yang terekam di dalam kitab Jami’u As-Sahih karya Imam Bukhari, bahwa ia (Rasulullah) berkata, “Pada hari kiamat, mereka akan mengambil sahabatku dari arah kanan dan kiri, dan aku berkata bahwa mereka adalah sahabatku dan dikatakan, sejak hari perpisahanmu (Muhammad) dengan mereka, mereka akan murtad dan kembali ke masa jahiliyah.” [2]

Itulah salah satu bukti yang kita lihat dengan mata kepala kita sendiri tentang sahabat yang murtad selepas wafatnya Nabi Saw. Dari sini kita dituntut untuk terus belajar, tak berpuas diri dan yakin hanya pada satu pendapat saja. Kita perlu membandingkan satu pendapat dengan yang lainnya, sehingga kita betul-betul menemukan kebenaran yang hakiki.


[1] Al-Bidayah wa An-Nihayah, Ibnu Katsir, jil. 9 , hal. 422.

[2] Al-Jami’us Sahiih, Imam Bukhari, juz 2, hal. 490, hadis 3447, cetakan: As-Salafiyah.

Related posts

Leave a Reply