MUSLIMMENJAWAB.COM – Secara global dari definisi-definisi yang telah dikemukakan oleh para ulama mengenai sahabat nabi saw, setidaknya terdapat kesepakatan dalam hal bahwa sahabat merupakan kelompok muslimin yang telah memperoleh kesempatan untuk bersama atau berjumpa dengan nabi Muhammad saw.
Tentu hal tersebut adalah sebuah anugerah khusus yang tak bisa didapat oleh generasi setelahnya. Namun apakah hal itu bisa menjamin seseorang untuk menjadi seorang yang adil, amanah, tidak berbuat buruk dan seterusnya? Di sini kita perlu banyak merenung dan mengkajinya secara bijak berdasarkan bukti-bukti yang tercatat dalam Al-Quran, hadis maupun sejarah.
Mengapa hal ini penting untuk dikaji? Jawabannya sebetulnya telah berkali-kali disinggung pada seri-seri yang lalu. Namun sebagai pengingat, bahwa yang paling utama, kajian ini bukan semata-mata bertujuan untuk menjelek-jelekan sahabat –Wal Iyadzu Billah– melainkan demi mengokohkan bangunan Islam itu sendiri.
Dalam tinjauan ilmu hadis sahabat berperan sama seperti perawi lainnya dari para tabiin atau generasi setelahnya yaitu sebagai penyambung lisan. Namun yang membedakan adalah selain posisi mereka yang langsung bersinggungan dan menyaksikan nabi saw, juga konsep keadilan seluruh sahabat (pandangan bahwa semua sahabat adalah adil), beda halnya dengan para perawi lainnya yang menerima kritikan atau pengakuan keadilan (Jarh Wa Ta’dil). Artinya terdapat penilaian di sini, apabila ia seorang yang adil maka ucapannya dapat diambil sementara sebaliknya, maka ucapannya akan diragukan atau bahkan diabaikan.
Sebagai bekal untuk menyelami kajian ini lebih mendalam, perlu kita ketahui terlebih makna keadilan itu sendiri dalam pandangan para ulama.
Imam Ghazali mendefinisikan keadilan dalam kitab Al-Mustashfa menyebutkan: Keadilan ialah istiqamah dalam perilaku dan agama.
Dan hasilnya (keadilan) kembali pada: “Karakter yang mengakar di dalam diri yang mendorong pada menjaga takwa dan kehormatan secara bersamaan”. Sehingga melahirkan kepercayaan dalam diri (orang-orang) dengan kejujurannya.
Maka tidak ada kepercayaan terhadap ucapan orang yang tidak takut pada Allah swt dari berkata bohong.
Kemudian tidak ada perbedaan dalam hal tidak disyaratkan terjaga (maksum) dari semua maksiat.
Dan tidak cukup pula (dengan) menjauhi dosa-dosa besar, bahkan dari dosa-dosa kecil yang memungkinnya terjerumus ke dalamnya, seperti mencuri sebutir bawang dan mengurangi timbangan seukuran butiran kecil -dengan sengaja-.
Dan secara keseluruhan: setiap yang menunjukkan pada kelemahan agamanya hingga pada tahap membuatnya berani berbohong demi tujuan-tujuan duniawi.
Bagaimana, sementara telah disyaratkan dalam keadilan menjaga (diri) dari sebagian hal yang mubah yang merusak kehormatan, seperti makan di jalan, buang air kecil di jalan, bersahabat dengan orang-orang buruk dan berlebihan dalam bercanda.
Dan yang menjadi ukuran dalam hal ini (keadilan) -ketika seseorang melanggar sebuah kesepakatan-: Ia diserahkan pada keputusan hakim, apabila yang ada pada diri (orang itu) mengindikasikan keberaniannya untuk berbohong, maka hakim akan menolak kesaksian darinya, dan apabila tidak mengindikasikan, maka akan diterima.[1]
Tajuddin As-Subki dalam kitab Al-Ashbah Wan Nadhair menjelaskan: Keadilan ialah karakter yang mengakar dalam diri yang mendorong (seseorang) pada kebenaran dalam ucapan, kerelaan dan amarah, dan hal itu diketahui dengan menjauhi dosa-dosa besar, tidak terdesak pada dosa-dosa kecil, menjaga kehormatan dan kesederhanaan ketika bangkitnya keninginan-keinginan sehingga menguasai dirinya dari (tertarik) mengikuti hawa nafsunya.[2]
Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitab Al-Ashbah Wan Nadhair juga memaparkan: Para ulama medefinisikannya (keadilan), bahwasannya ia adalah sebuah malakah yakni karakter yang mengakar dalam diri yang menahannya dari melakukan dosa besar atau kecil yang mengarahkan pada kehinaan atau dari hal mubah yang mencederai kehormatan. Dan ini merupakan sebaik-baiknya ungkapan dalam mendefinisikannya.
Dan melemahkannya (makna keadilan) ucapan orang yang mengatakan bahwa (keadilan) adalah menjauhi dosa-dosa besar serta desakan terhadap dosa-dosa kecil.
Sebab hanya menjauhi tanpa adanya malakah dan kekuatan dalam dirinya yang mencegahnya dari jatuh ke dalam apa yang diinginkan (nafsunya) tidak cukup untuk disebut sebagai keadilan.[3]
Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan: Yang dimaksud dengan keadilan adalah sesiapa yang memiliki malakah yang mendorongnya menjaga takwa dan kehormatan. Dan yang dimaksud takwa ialah menjauhi perbuatan-perbuatan buruk seperti kesyirikan, kefasikan atau bid’ah.[4]
Demikianlah beberapa pandangan ulama terkait keadilan. Dari sini muncul sebuah pertanyaan besar bagi kita, apakah makna keadilan ini terwujud dalam setiap pribadi sahabat tanpa kecuali? Bagaimanakah sebenarnya fakta yang terjadi dalam Al-Quran, hadis dan sejarah? semua ini membutuhkan banyak kajian dan renungan. InsyaAllah pada seri-seri berikutnya akan menyelam lebih dalam lagi dalam topik ini.
[1] Al-Mustashfa Min Ilmil Ushul, jil: 1, hal: 231 – 232.
[2] Al-Ashbah Wan Nadhair, jil: 1, hal: 451, Darul Kutub Ilmiah, Beirut.
[3] Al-Ashbah Wan Nadhair, hal: 384 – 385, Darul Kutub Ilmiah, Beirut.
[4] Nuzhatun Nadhar Fi Taudhih Nukhbatil Fikr, hal: 67.