Muslimmenjawab.com – Tahrif Al-Quran merupakan salah satu tema yang sangat menguras perhatian ummat Islam terutama para mufassir dan teolog setiap mazhab. Dan tidak jarang golongan tertentu menjadi korban pembahasan ini; di mana mazhab syiah sering dipojokkan dengan tuduhan memiliki keyakinan bahwa al-Quran telah mengalami distorsi atau tahrif.
Berangkat dari permasalahan ini seri kali ini dan beberapa seri berikutnya akan mengkaji permasalahan tahrif atau distorsi Al-Quran, sehingga bisa dipahami dengan jelas fakta sebenarnya.
Mengingat bahwa pengertian tahrif sangat menentukan pembahasan yang akan dituangkan dalam beberapa tulisan kedepan maka defenisi tahrif perlu dikaji terlebih dahulu, sehingga pembahasan ini memiliki arah dan cakupan yang jelas.
Tahrif secara bahasa atau etimologi sebagai mana disebutkan Ibn Manzur berarti pengubahan makna kata dengan arti yang serupa, memalingkan, menggerakkan.[1] Dan di dalam al-Munjid disebutkan bahwa tahrif adalah memalingkan, mengubah atau mengganti[2]. Jadi dapat disimpulkan bahwa secara etimologi tahrif berarti pengubahan, pemalingan dan penggerakan.
Untuk mendefenisikan tahrif Al-Quran secara terminologi terlebih dahulu harus dipahami bahwa distorsi dapat diklasifikasi kedalam dua kelompok. Yang pertama distorsi makna (maknawi) atau pengertian dan penafsiran sedangkan yang ke dua adalah distorsi lafal (lafzi).
Distorsi bentuk pertama merupakan hal yang pasti terjadi karena tafsir bi rakyi maksudnya distorsi pada makna adalah sesuatu yang secara faktual banyak terjadi. sungguh telah nyata dalam sejarah tafsir Al-Quran bahwa mazhab-mazhab kalam dan perbedaan golongan telah menjadi pemicu munculnya hal tersebut.[3] Oleh karena itu maka tahrif yang diperdebatkan dan yang menjadi pembahasan bukan lah bentuk pertma ini.
Berangkat dari hal ini , Tahrif yang menjadi pembahasan adalah bentuk kedua. Hosain jawan Araste dalam kitabnya menyebutkan: tahrif secara terminologi hanya mencakup tahrif pada lafaz, iaitu adanya penambahan atau pengurangan kata, kalimat atau ayat pada Al-Quran. Dan objek perbedaan dalam pembahasan tidak adanya distorsi pada Al-Quran, ada pada tahrif dalam terminologi ini.[4]
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa meyakini adanya tahrif berarti meyakini adanya penambahan atau pengurangan pada kata, kalimat atau ayat Al-quran, dan mengingkari tahrif Al-Quran sama dengan menolak adanya penambahan atau pengurangan pada hal yang telah disebutkan.
Tapi perlu diingat juga bahwa pada dasarnya perdebatan seputar tahrif ini lebih banyak terfokus pada tahrif pengurangan bukan penambahan, hal ini akan dapat kita lihat pada riwayat-riwayat yang akan menjadi pembahasan pada kajian-kajian berikutnya.
[1] Ibn Manzur, Lisan al-Arab, jil: 9, cet: Dar as-Shadir, Beirut, 1994.
[2] Luis Ma’luf, al-Munjid Fi al-Lughah, hal: 126, Dar al-Masyriq, Beirut, 1997.
[3] Jawan Araste, Hosain, Durus Fi Ulum al-Quran, hal: 200, cet: Markaz-e Bain al-Milali-e Tarjume wa Nasyr al-Mushthafa, Qom, 1393 HS.
[4] Jawan Araste, Hosain, Durus Fi Ulum al-Quran, hal: 201, cet: Markaz-e Bain al-Milali-e Tarjume wa Nasyr al-Mushthafa, Qom, 1393 HS.