Membuktikan Keberadaan Tuhan Lewat Kejadian Sederhana

MUSLIMMENJAWAB.COM – Saat kita hidup di dunia, mungkin benak kita tak pernah absen dari pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti ini: Dari mana kita datang? Di manakah kita sekarang? Dan yang terakhir, ke manakah kita setelah kita tak lagi punya kesempatan hidup di dunia?

Setiap manusia—dari kalangan manapun—pasti pernah terperangkap di dalam pertanyaan-pertanyaan di atas, entah di saat ia masih kecil atau saat usianya sudah tak lagi muda. Tanpa mengetahui jawaban dari pertanyaan di atas, maka ia tak akan mantap menjalani hidup ini.

Read More

Maka, sampai kapan pun, saat kita belum menemukan jawaban  dari pertanyaan di atas, hidup layaknya styrofoam yang terombang-ambing di tengah samudera. Sebagai penegasan, di sini, penulis sedang tidak ingin memberi jawaban atas pertanyaan di atas.

Sederet pertanyaan di atas sengaja penulis hadirikan di dalam mukaddimah tulisan ini sebagai analogi, bahwa timbulnya pertanyaan di atas, menandakan di kedalaman diri manusia ada fitrah yang mengajaknya untuk mengenal siapa pencpitanya dan pencipta alam semesta.

Di sisi lain, pertanyaan di atas juga hendak membantah pandangan-pandangan orang yang tak mempercayai adanya Tuhan. Saat timbul pertanyaan di atas, sejatinya fitrah kita sedang bermain, dan hendak membuktikan bahwa Tuhan itu ada, hanya saja, masih ada banyak fase yang mesti kita tempuh.

Di dalam salah satu bukunya tentang teologi, yang berjudul Panjoh Dars Ushul-e Aqayed Bara-ye Javanan (50 Pelajaran Akidah untuk Para Pemuda), Ayatullah Nashir Makarim Syirazi mengumpamakan, bahwa manusia yang baru hidup di dunia layaknya seseorang yang baru kecelakaan dan jatuh pingsan.

Begitu ia siuman, ia bertanya-tanya dengan orang sekitar, di mana ia berada, dan kenapa ia bisa berada di sana, lalu apa yang harus ia lakukan setelah itu. Permisalan ini sebagai penegasan, bahwa melalui pertanyaan itu, lampu hijau untuk mecari Tuhan dengan sendirinya menyala.

Dengan begini, tak ada alasan lagi bagi kita untuk tidak percaya akan keberadaan Tuhan. Kalau hal ini sudah kita sadari, maka kita harus mendaki jalur pendakian berikutnya demi menyempurnakan pengetahuan dan keyakinan kita tentang keberadaan-Nya.

Berikutnya, mungkin kita pernah mengalami hari di mana ada seseorang yang memberi kita hadiah—entah itu berupa uang atau selainnya—melalui orang lain. Jika kita pernah mengalami hal yang sama, pasti kita bertanya-tanya kepada orang yang membawakan hadiah ke kita, siapa sebenarnya yang memberi hadiah itu.

Alasan mengapa kita bertanya, tentu sudah jelas, yaitu ingin mengucapkan terima kasih atas hadiah yang diberikaannya pada kita—kepada pemberi yang sebenarnya. Nah, begitu pula saat kita menerima kenikmatan yang luar biasa dari Tuhan, baik nikmat berupa hidup sehat, banyak rezeki, dan bisa beribadah dengan khidamat, dan seterusnya.

Maka, secara fitrah, ada keinginan di kedalaman diri manusia untuk mengucapkan terima kasih kepada-Nya, lantaran telah memberi banyak nikmat untuk hamba-hamba-Nya. Bahkan di dalam salah satu pembahasan di dalam akhidah, bersyukur kepada pemberi nikmat (Tuhan) itu wajib.

Analogi barusan, sejatinya juga hendak membuktikan bahwa manusia memiliki fitrah untuk mengenal dan mencari Tuhannya. Melalaui contoh-contoh sederhana di atas pula, kita diingatkan bahwa kita tak pernah bisa menghindar dari keberadaan-Nya.

Sebagai penutup, sekali lagi, penulis hendak menegaskan, bahwa apa yang penulis paparkan hanyalah ‘sinyal’ dari pembuktian keberadaan Tuhan. Jadi, tak cukup sampai di sini kita melangkah. Kita harus banyak mengkaji buku-buku terkait demi kematangan pengetahuan kita tentang itu. Wallahu a’lam bi-ashawab.

Related posts

Leave a Reply