MUSLIMMENJAWAB.COM – Setelah kita mengenal secara umum mengenai peristiwa Ghadir Khum dari seri-seri yang lalu, alangkah baiknya kita mulai mendalami arti dari pesan yang disampaikan oleh Rasulullah saw dalam momen bersejarah tersebut.
من كنت مولاه فعلي مولاه
Barangsiapa yang aku adalah maula-nya, maka Ali adalah maula-nya.
Seperti yang telah diulas dalam pembahasan-pembahasan sebelumnya, salah satu topik utama yang menjadi perdebatan antara ulama adalah pemaknaan “maula” dalam riwayat Ghadir Khum. Sebagian melihat bahwa kata tersebut memiliki makna yang menunjukkan arti tentang wilayah atau kepemimpinan, sementara yang lainnya ada yang melihat bahwa itu memberikan makna kedekatan atau kecintaan atau ada juga yang memaknai dengan arti penolong.
Dalam hal ini, Ayatullah Ja’far Subhani melihat bahwa “maula” yang mengikuti bentuk “maf’al” dalam riwayat Ghadir Khum, secara bahasa bermakna “aula” yang mengikuti bentuk “af’al” baik itu dikatakan bahwa keduanya memiliki satu arti atau “aula” merupakan salah satu makna “maula”. Hal ini seperti yang berlaku pada kata “maula” pada ayat berikut:
فَالْيَوْمَ لَا يُؤْخَذُ مِنْكُمْ فِدْيَةٌ وَّلَا مِنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْاۗ مَأْوٰىكُمُ النَّارُۗ هِيَ مَوْلٰىكُمْۗ وَبِئْسَ الْمَصِيْرُ
Maka pada hari ini tidak akan diterima tebusan dari kamu maupun dari orang-orang kafir. Tempat kamu di neraka. Itulah tempat berlindungmu, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali. (Al-Hadid: 15)
Terkait ayat tersebut, para mufasir terbagi menjadi dua kelompok dalam memaknai “maulakum”. Pertama, mereka yang mengkhususkan maknanya dengan “aula bikum”, sementara yang lainnya melihat “aula bikum” merupakan salah satu dari makna “maulakum”.
Al-Khazin dalam tafsirnya menyebutkan bahwa “maulakum” pada ayat di atas bermakna “waliyyukum” dan dikatakan juga bermakna “aula bikum” atau lebih utama terhadap kalian atas dosa-dosa yang telah kalian kerjakan, sehingga maknanya menjadi: ia yang berkuasa atas kalian, sebab ia memiliki urusan kalian dan kalian pasrah terhadapnya, sehingga ia “aula bikum” dari segala sesuatu.[1]
Fakhruddin Al-Razi juga memuat nukilan “maula” bermakna “aula” dalam tafsirnya dari Al-Kalbi (wafat 146 H), Al-Farra (wafat 207 H), Abu Ubaidah (wafat 210 H) dan Al-Akhfasy Al-Ausath (218 H).[2]
Di sini terdapat syubhat yang dikemukakan oleh Fakhruddin Al-Razi dalam tafsirnya. Ia melihat adanya kontradiksi antara ayat di atas dengan hadis Ghadir Khum. Oleh sebab itu dalam menafsirkan ayat di atas ia menyebutkan bahwa seandainya lafal “maula” memiliki satu arti dengan “aula” dalam bahasa, maka akan benar penggunaan setiap dari keduanya di tempat selainnya, seperti; hadza maula min fulan dengan hadza sula min Fulan, dan ketika hal itu tidak bisa terjadi, maka kita tahu bahwa apa yang mereka sebutkan itu adalah sebuah makna, dan bukan tafsir.
Catatan atas pernyataan Fakhruddin Al-Razi: hal yang terlewatkan olehnya bahwasannya persatuan atau persamaan makna diantara lafal-lafal yang ada terletak pada inti maknanya bukan pada hal-hal yang sifatnya sampingan seperti, penyusunan, perubahan lafal serta bentuknya. Seperti perbedaan yang terjadi antara “maula” dan “aula” dengan harusnya dibarengi oleh kata penghubung “bi” pada “aula” menjadi “aula bi” sementara “maula” tidak butuh itu, dan seterusnya.
Sementara itu bila merujuk pada beberapa kitab bahasa, mereka menyebutkan kata “maula” memiliki beberapa makna diantaranya; tuan, budak, kawan, penolong, wali dan seterusnya. Sedangkan apabila dicermati lebih mendalam, semua makna-makna yang ada akan kembali pada satu makna yaitu “Al-Aula Bis Syai” atau yang lebih utama atau berkuasa terhadap sesuatu. Sehingga dalam kasus ini makna-makna yang tadi disebutkan berkumpul atau memiliki kesamaan pada satu makna atau yang disebut dengan musytarak maknawi bukan musytarak lafdzi (memiliki kesamaan pada lafal). Hal ini sesuai dengan pandangan yang digagas oleh Ibnul Bithriq Al-Hilli (wafat 600 H).
Sementara makna “maula” yang muncul dalam arti yang beragam sejatinya bukan berasal dari maknanya melainkan dari penggunaannya dalam berbagai kasus yang ada. Sepertihalnya tuan yang memiliki arti yang lebih utama terhadap kepemilikannya, budak yang lebih utama dalam hal ketaatan pada tuannya dan begitu seterusnya.[3]
Sama halnya dengan kata “maula” pada riwayat Ghadir Khum, ia juga memiliki makna “aula” atau “wali”. Sehingga akan menampilkan makna sebagai berikut: Barangsiapa yang Rasulullah adalah maulanya (orang yang lebih utama terhadap dirinya) maka Ali adalah maulanya.
Dari itu kita pahami bahwa ada hal yang disamakan oleh Nabi saw dari Imam Ali as dengan dirinya sendiri dalam hal yang berkaitan dengan keutamaan atau kekuasaan terhadap umat manusia.
Dalam hal ini juga terdapat keterangan lain yang membuat makna “maula” semakin mengerucut terhadap kepemimpinan setelah Nabi saw. Insya Allah pembahasan ini akan dikupas pada seri-seri berikutnya.
[1] Tafsir Al-Khazin, jil: 4, hal: 239.
[2] Tafsir Al-Kabir, jil: 8, hal: 93.
[3] Al-Ilahiyyat, jil: 4, hal: 88-94.