MUSLIMMENJAWAB.COM– Ijtihad sahabat adalah konsep berikutnya yang diimani oleh mazhab Ahlussunnah. Keberadaan konsep ini pada dasarnya merupakan penopang konsep keadilan sahabat yang telah banyak dibahas pada seri-seri sebelumnya.
Pada tulisab kali ini melanjutkan tulisan-tulisan sebelumnya akan disebutkan pernyataan yang ditulis oleh Syahrastani dalam kitabnya al-Milal Wa al-Nihal berkaitan dengan konsep ijtihad. Setelah itu pernyataan tersebut akan coba disandingkan dengan riwayat yang disampaikan oleh rasulullah SAWW untuk kemudian dilihat sejauh mana konsep ini dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam satu pernyataannya tentang hukum ijtihad dan taklid serta mujtahid dan muqallid, Syahrastani mengatakan:
“jika dua orang mujtahid melakukan ijtihad, lalu ijtihad salah seorang dari mereka berbeda dengan yang lainnya, maka tidak boleh seorangpun dari mereka taklid kepada yang lainnya.[1]”
Dalam pernyataan ini disebutkan bahwa seorang mujtahid tidak dibenarkan untuk bertaklid kepda mujtahid lainnya. Oleh karena itu jika dipahami dan diyakini bahwa semua sahabat adalah mujtahid, maka tidak selayaknya sahabat mengikuti atau meminta fatwa kepada sahabat lainnya yang dalam hal ini sama-sama mujtahid.
Namun fakta yang ada menjelaskan bahwa ummat dan termasuk para sahabat, diperintahkan oleh Nabi SAWW untuk mengikuti ahlulbaitnya sebagaimana tertera dalam hadits Tsaqalian.
“Wahai sekalian manusia sesungguhnya aku meninggalkan dua perkara di antara kalian. kalian tidak akan tersesat jika mengikuti keduanya. Keduanya adalah kitabullah dan ahlulbait ku itrah ku.[2]”
Kenyataan yang dipaparkan dalam riwayat ini dan riwayat –riwayat Tsaqalain dengan jalur lainnya, menawarkan dua pilihan bagi kita. Ikut konsep ijtihad sahabat dan mengabaikan Hadits Rasul SAWW atau mengabikan konsep ijtihad sahabat dan berpegang kepada Hadits Nabi SAWW. Silahkan memilih satu diantara keduanya. Atau mungkin ada tawaran lain yang tidak mengharuskan kita untuk memilih salah satu dari alternatif di atas?
[1] Syahrastani, Muhammad bin Abdul Karim, al-Milal Wa al-Nihal, jil: 1, hal: 242, cet: Dar al-Ma’rifah, Beirut.
[2] Hakim Naisaburi, Muhammad bin Abdullah, al-Mustadrak, jil: 3, hal: 118, Dar al-Kutub al-Ilmiah.