MUSLIMMENJAWAB.COM – Sebutan Ahlulbait dalam ayat Tathir atau ayat 33 surah Al-Ahzab, memiliki keagungan dan kemuliaan yang sangat besar. Bagaimana tidak, ayat tersebut berbicara mengenai kehendak Allah Swt -sang pencipta alam wujud dan satu-satunya yang maha kuasa- untuk membersihkan dan menyucikan beberapa orang yang disebut sebagai Ahlulbait dari berbagai dosa.
Tidak hanya itu,dalam ayat tersebut terdapat penggunaan Maf’ul muthlaq di bagian akhirnya (وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًا), yang mana dalam konteks ini fungsinya adalah sebagai Ta’kid atau penegasan terhadap Fi’il atau kata kerja Tathir (penyucian atau pembersihan). Sehingga makna yang dihasilkan dari susunan tersebut menunjukkan pekerjaan yang dikerjakan dengan sebenar-benarnya.
Keberadaan Ta’kid ini memberikan bobot yang lebih terhadap substansi pernyataan dalam ayat tersebut, yang mana secara terang-terangan menjamin bahwa orang-orang yang termasuk dalam sebutan Ahlulbait adalah orang-orang yang suci dan bersih dari dosa. Oleh sebab itu pesannya menjadi sangat dahsyat: “Sesungguhnya Allah hanya hendak menghilangkan dosa darimu, wahai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
Namun kenyataannya, persepsi terhadap ayat ini tidaklah seragam. Beberapa pandangan bermunculan dengan dalilnya maupun klaimnya masing-masing. Masalahnya bermuara pada sebuah pertanyaan “siapakah Ahlulbait itu?” dan Al-Quran sendiri tidak menyebutkan nama-nama mereka secara spesifik.
Demi mencari kebenarannya mula-mula kita akan mengkaji kembali secara seksama teks dari ayat Tathir. Ayat ini sebenarnya merupakan sebuah penggalan yang berada di tengah ayat-ayat yang berbicara kepada para Istri Nabi Saw.
﴿ يٰنِسَاۤءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَاَحَدٍ مِّنَ النِّسَاۤءِ اِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِيْ فِيْ قَلْبِهٖ مَرَضٌ وَّقُلْنَ قَوْلًا مَّعْرُوْفًاۚ ٣٢ وَقَرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْاُوْلٰى وَاَقِمْنَ الصَّلٰوةَ وَاٰتِيْنَ الزَّكٰوةَ وَاَطِعْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗاِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ اَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًاۚ ٣٣ وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلٰى فِيْ بُيُوْتِكُنَّ مِنْ اٰيٰتِ اللّٰهِ وَالْحِكْمَةِۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ لَطِيْفًا خَبِيْرًا ࣖ ٣٤ ﴾ ( الاحزاب/33: 32-34)
32. Wahai istri-istri Nabi, kamu tidaklah seperti perempuan-perempuan yang lain jika kamu bertakwa. Maka, janganlah kamu merendahkan suara (dengan lemah lembut yang dibuat-buat) sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.
33. Tetaplah (tinggal) di rumah-rumahmu dan janganlah berhias (dan bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu. Tegakkanlah salat, tunaikanlah zakat, serta taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah hanya hendak menghilangkan dosa darimu, wahai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
34. Ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu yakni ayat-ayat Allah (Al-Qur’an) dan hikmah (sunah Nabimu). Sesungguhnya Allah Maha Lembut lagi Maha Teliti.
(Al-Ahzab/33:32-34)
Dari kutipan ayat-ayat di atas, apabila kita perhatikan baik-baik terdapat satu hal yang menarik. Hal tersebut ialah terjadinya perubahan bentuk Dhamir Mukhatab (kata ganti orang kedua) dalam penggalan ayat kedua.
Sebelumnya perlu diketahui bahwa kata ganti dalam bahasa Arab berbeda dengan kata ganti dalam bahasa Indonesia. Salah satu perbedaan yang mencolok ialah kata ganti dalam bahasa Arab membedakan antara pria dan wanita untuk kata ganti orang kedua dan ketiganya baik dalam bentuk Mufrad (tunggal), Mutsanna (dual) dan Jamak (banyak). Kendati demikian kata ganti bentuk Jamak untuk pria bisa juga meliputi wanita, seperti halnya salam yang biasa sering diucapkan ataupun didengar untuk memulai pembicaraan dalam sebuah perkumpulan.
Kembali pada topik di atas, Dhamir atau kata ganti yang menjadi persoalan kita ialah Dhamir Mukhatab (kata ganti orang kedua) pada ayat-ayat tersebut, sebab yang menjadi sumber perbedaan -seperti yang telah kita singgung sebelumnya- adalah sosok-sosok yang menjadi lawan bicara Allah Swt dalam ayat-ayat itu.
Apabila kita perhatikan dengan baik dalam ayat-ayat itu, kita mendapati bahwa ketika Allah Swt berbicara kepada istri-istri Nabi Saw, Ia menggunakan kata ganti khusus wanita seperti yang bisa disaksikan berikut ini:
- Pada ayat pertama Allah Swt berbicara kepada mereka dengan kalimat yang memakai kata ganti khusus untuk wanita :
لَسْتُنَّ – اتَّقَيْتُنَّ – فَلَا تَخْضَعْنَ – وَّقُلْنَ
- Pada permulaan ayat kedua juga sama:
وَقَرْنَ – بُيُوْتِكُنَّ – وَلَا تَبَرَّجْنَ – وَاَقِمْنَ – وَاٰتِيْنَ – وَاَطِعْنَ
Namun ketika sampai pada sabda-Nya: “إنّما يريد اللَّه ليذهب…” Allah Swt mengubah kata ganti lawan bicaranya dengan kata ganti untuk pria dalam bentuk Jamak seperti yang dapat dilihat berikut ini:
عَنْكُمُ – وَيُطَهِّرَكُمْ
- Setelah itu pada ayat ketiga Allah Swt kembali bersabda dan mengubah kembali kata ganti lawan bicaranya dengan kata ganti untuk wanita dalam bentuk jamak:
وَاذْكُرْنَ – ُيُوْتِكُنَّ
Setelah menyaksikan perubahan kata ganti tersebut, tentunya akan mengundang pertanyaan dalam benak kita; “Apakah rahasia dibalik perubahan kata ganti dalam ayat-ayat tersebut?” Seandainya kita menerima bahwa ayat-ayat tersebut berada dalam satu konteks serta yang menjadi Mukhatab atau lawan bicaranya adalah sama, maka seharusnya tidak perlu adanya perubahan Dhamir atau kata ganti. Apabila hal tersebut dipaksakan demikian, maka hal itu menurut hemat penulis sama saja dengan menisbahkan kesia-siaan pada-Nya, maha suci Allah dari semua hal seperti itu.
Tentu adanya perubahan tersebut tidak terjadi dengan tanpa alasan, namun yang jelas hal ini secara tekstual menjadikan ayat Tathir sebagai pernyataan mandiri yang tidak terkait dengan ayat sebelum maupun sesudahnya. Oleh sebab itu, kenyataan ini dapat menafikan anggapan bahwa Ahlulbait pada ayat tersebut adalah para istri Nabi Saw.